Bahkan Nabi Menangis Ditinggal Ibu

📅

📝

Kematian merupakan tema yang sulit untuk dibicarakan, apalagi jika berkaitan dengan ibu. Rasulullah ﷺ pernah menggambarkan bahwa satu tarikan nafas ibu tidak akan bisa terbalas oleh kebaikan seseorang.

Itu sebabnya, cinta ibu tidak dapat dinamai cinta karena cinta itu bisa layu sedang cinta ibu tidak pernah layu. Pengorbanannya tidak bisa dinamai pengorbanan, karena pengorbanan itu terselip dicelanya rasa sakit. Tapi rasa sakit pengorbanan seorang ibu akan hilang begitu memandang mata anaknya.

Jangan duga hanya anak kecil yang menangis ditinggal ibunya. Orang dewasa, bahkan Rasulullah ﷺ pun menangis ketika ditinggal ibunya.

Suatu ketika Rasulullah dan sahabatnya melewati tempat pemakaman ibunya di Abwa dekat Madinah. Ketika beliau ﷺ singgah, para sahabat menjauh. Tiba-tiba terdengar suara tangis yang keras. Sayidina ’Umar yang mendengar itu langsung ketakutan. 

Setelah kembali beliau ﷺ berkata kepada ‘Umar, “Tangisku menakutkanmu?” “Benar, wahai Nabi,” kata ‘Umar. Beliau ﷺ lantas menjawab, “Aku mengenang ibuku.”

Apa yang dinamai cinta ibu itu berbeda dengan cinta ayah. Cinta ayah itu emosi, sedangkan cinta ibu itu naluri. Itu kata ilmuwan.

Betapapun buruknya perlakuan seorang anak kepada ibunya, dia tetap cinta, karena cinta melekat pada dirinya. Kita yang ditinggal oleh ibu telah kehilangan salah satu sebab penting untuk masuk surga. Karena rida Allah adalah rida orang tua, khususnya ibu.

“Rugi seseorang yang ibunya masih hidup dia tidak dapat kesempatan untuk masuk surga,” kata Nabi ﷺ.

Itu sebabnya, kalau kita berbicara tentang kematian ibu maka terlalu rumit. Orang tetap dekat kepada ibunya walau dia sudah dewasa. Lihat saja anak-anak kita, walaupun sudah punya rumah, sudah punya tempat tidur sendiri, dia masih datang pada ibunya.

Tetapi kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Hanya saja bagi kita yang ditinggal, selama kita yakin bahwa orang yang meninggal telah mengabdi dan memberi, maka kita yakin bahwa dia tidak mati. Dia hanya pergi. Dia masih ada, hanya tidak di sini. Kita masih bisa berhubungan dengannya. Bahkan banyak ibu yang menegur anaknya, walau dia sudah tidak di sini, melalui mimpi.

Jadi kematian bukan ketiadaan. Itu sebabnya kita membaca Fatihah. Itu sebabnya kita menyebut nama-nama (dalam doa). Karena kita tidak ingin siapa yang kita cintai itu menerima kiriman yang bersifat umum. Kita ingin mengirim (doa) yang ditujukan kepadanya dan dia tahu siapa yang mengirimnya. Kita tidak mau (cukup dengan) lil muslimîna wal muslimât. Tapi kita sebut nama-nama itu.

Karena kita yakin bahwa kepergian manusia karena kematian itu tanda menuju kebahagiaan. Kematian itu—bagi orang-orang yang dekat kepada Allah—adalah rahmat dan ketenangan buat dia.

Nabi pernah melihat jenazah lewat di hadapan beliau, lantas bersabda, “Mustarih aw mustarah.” Ditanya oleh sahabat apa artinya? “Kalau seseorang itu baik maka dia tenang. Tapi kalau orang itu jahat, maka (kematian) dia memberi ketenangan kepada orang lain.”

Jadi karena kita yakin bahwa tempatnya di sana lebih baik dari di sini maka kita legawa melepasnya. Kita rida karena Allah, kita optimis bahwa Allah rida terhadapnya. Wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.

Itu yang menenangkan setiap orang yang ditinggal oleh orang yang dicintainya. Itu optimis yang ditanamkan agama kepada orang-orang yang yakin akan rahmat dan kasih sayang.

Kalau tidak ada itu wajar menangis tanpa henti; wajar menggerutu; wajar menolak ketetapan Tuhan. Tapi karena ada hal itu kita yakin bahwa tempatnya di sana jauh lebih baik dari di sini.

Karena itu, orang yang ditinggal oleh kematian siapa yang dikasihinya janganlah egois. Lepaskan dia. Biarkan dia berangkat dan tetap jalin hubungan dengannya antara lain melalui pembacaan doa dan mengirim Fatihah. Berbuat baik kepada teman-temannya. Melanjutkan cita-cita dan perjuangannya.

Itulah yang menjadikan siapa yang meninggalkan pentas dunia ini tetap hidup di sisi Allah.

Catatan: Disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam acara tahlil khatam Quran hababah, Almh. Syarifah Zenah binti Muhammad Alattas.


Discover more from islah

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tanggapan

  1. yodi Avatar

    Izin Share ya Ustadz…

Tinggalkan Balasan ke yodi Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.