Sore hari di Betlehem, kota kelahiran Yesus Kristus. Bunyi lonceng gereja bercampur dengan suara sirene ambulans. Di jalan-jalan yang sempit, pastor dan biarawati berlari mencari perlindungan. Di sudut lain, keluarga Kristen Palestina mendekap anak-anak mereka yang ketakutan.
Kisah ini bukan potongan fiksi. Jarang disajikan oleh media arus utama tapi inilah kenyataan yang dialami oleh Kristiani di Palestina.
Kita terlanjur terbiasa mengaitkan penderitaan Palestina hanya dengan kaum muslim. Padahal, di balik tembok pemisah yang menjulang di Tepi Barat, ada jemaat gereja kuno yang mengalami penderitaan yang sama dengan kaum muslim.
Menurut Kairos Palestine, sebuah jaringan komunitas Kristen lokal, ribuan Kristiani terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka akibat tekanan dan penindasan Zionis Israel.
Mengapa hal ini jarang terdengar? David Duke, politisi Amerika Serikat dan mantan pemimpin Ksatria Ku Klux Klan, mengatakan dominasi media oleh Zionis menjadi salah satu penyebabnya. Bukan hanya televisi di Israel yang mempropagandakan kebencian kepada ajaran Kristus dan kristiani.
Penelitian menunjukkan bagaimana industri hiburan, termasuk Hollywood, membentuk persepsi publik tentang konflik Timur Tengah. Kajian dari Journal of Holy Land and Palestine Studies menyebut pengaruh film Amerika Serikat yang kerap menggambarkan Israel sebagai kelompok pahlawan, sementara Palestina dipersepsikan sebaliknya.
Narasi inilah yang membuat sebagian umat Kristiani, khususnya di Amerika Serikat, memberi dukungan penuh pada zionisme. Ironisnya, dukungan itu justru menyakiti saudara seiman mereka di tanah suci dan saudara sesama manusia
Data dari Human Rights Watch (2021) menyebutkan bahwa kebijakan diskriminatif Israel tidak hanya menargetkan muslim, tetapi juga komunitas Kristen Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur dan Gaza. Gereja-gereja bersejarah di Yerusalem menghadapi intimidasi, penyitaan tanah, dan pembatasan ibadah.
Al Jazeera juga mencatat, jumlah umat Kristen di Palestina terus menurun. Pada awal abad ke-20 ada sekitar 10% populasi dan saat ini hanya tersisa kurang dari 2%. Ini bukan hanya angka, melainkan bukti terhapusnya jejak sejarah Kristen di tanah kelahiran Yesus.
Kenyataan pahit ini mestinya menggugah hati Kristiani di Indonesia. Saya tidak pernah habis pikir bagaimana beberapa saudara Kristiani dari daerah yang dikenal teguh dalam iman ragu justru ragu dalam mengambil sikap dalam konflik di Palestina bahkan mendukung Israel.
Terpengaruh pemberitaan global, mereka tanpa malu mendukung narasi zionisme tanpa menyadari bahwa ideologi yang dijalankan Israel itulah yang menindas saudara seiman mereka.
Bibel bicara sangat jelas soal keadilan. Nabi Yesaya berpesan: “Belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yesaya 1:17). Ayat ini seperti panggilan moral: orang beriman seharusnya tidak tinggal diam saat ketidakadilan merajalela.
Seorang pendeta di Palestina pernah berkata, “Kami tidak meminta kalian memilih agama, kami hanya meminta kalian memilih kemanusiaan.”
Umat Kristiani di Indonesia, yang hidup dalam masyarakat majemuk, memiliki kesempatan besar untuk turut menyuarakan keadilan. Solidaritas bukan hanya kepada umat muslim Palestina, tetapi juga saudara seiman Kristiani yang tengah berjuang bertahan hidup. Bahkan kepada manusia manapun yang menjadi korban penjajahan.
Acuh tak acuh pada kondisi Palestina apalagi mendukung zionisme berarti mengkhianati nilai kemanusiaan. Bahkan termasuk melupakan sejarah iman itu sendiri. Sebab Alkitab menegaskan, “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana.” (Amsal 31:8)
Di hadapan penderitaan yang nyata, pilihan kita sederhana: berpihak pada rezim Zionis yang menindas atau pada suara tangis anak-anak di Betlehem—kota kelahiran Yesus Kristus yang bangkit melawan ketidakadilan.

Tinggalkan Balasan ke dmilano Batalkan balasan