Imam Ali pernah berkata, “Bacalah Alquran dan ajaklah bicara.” Bagaimana pandangan Anda?
Itulah yang oleh Muhammad Baqir al-Shadr dijadikan dasar bagi terciptanya metode mawdhu’i atau tawhidi. Anda punya problem, jangan cari solusi ke mana-mana, tetapi cari dan bukalah Alquran. Itu namanya “istintaq bil-quran”. Nanti, Alquran yang akan menjelaskan. Tapi, harus digarisbawahi bahwa penjelasan itu menurut versi dia (si pembaca).
Ini berarti ruang eksplorasi dalam tafsir lebih luas daripada fikih?
Kalau kita bicara Islam, sumber rujukannya adalah Alquran. Semua ilmu keislaman pun lahir dari Alquran. Mulai dari nahwu, sharaf, kalam, fikih, balâghah, dan lain-lain. Sehingga semua orang, bahkan yang non-muslim, yang ingin bicara tentang Islam pasti merujuk ke Alquran. Alquran tidak menjadi sekat. Alquran, yang perlu kita ketahui bersama, hanya akan menjadi sekat apabila pandangan kita picik, seperti ungkapan, “Lihat ini, Alquran berkata ini, yang lainnya tidak.” Tapi, bila pandangan kita luas, kita akan mengatakan bahwa yang berbeda-beda dengan kita pun mempunyai dalil.
Antara Imam Syafii dan Imam Malik juga berbeda. Antara Imam Malik dan Abu Hanifah beda. Begitu juga dengan dan antar-ulama lain seperti Imam Jafar. Biarkan saja semua begitu. Kita menemukan fenomena monopoli tafsir, terhadap teks, ayat, maupun riwayat. Sehingga semua pandangan selainnya adalah salah. Dia tidak bisa membedakan antara teks dengan penafsiran terhadap teks. Sekarang ini, masyarakat menjadi ragu untuk berbeda pandangan. Ini yang perlu diluruskan.
Semua pendapat bisa jadi benar. Dalam konteks ini, agama bisa diibaratkan seperti angka 10. Bagaimana kita bisa mendapatkan angka 10? Ada yang bilang 7+3, benar, ada lagi yang bilang 6+4, 5+5, benar juga. Yang penting Anda pilih yang Anda anggap paling benar.
Sejauh mana Anda mengakrabi tafsir-tafsir Syiah?
Saya merujuk Thabathabai, Thusi, Thabarsi, dan ulama-ulama lain dari berbagai mazhab, seperti Muhammad Abduh dan Sayid Quthb. Kalau Anda ingin melihat bagaimana tafsir saya, lihatlah tafsir Al-Mishbâh. Saya punya gagasan tentang pentingnya memahami literatur-literatur di luar mazhab kita sendiri. Saya sering dinilai orang bukan Muhammadiyah, bukan NU, tidak mengapa, yang penting jangan ada yang menganggap saya bukan Islam (tertawa—red.).
Saya sependapat dengan ulama-ulama yang berkata, bahwa ulama yang hanya mengajukan satu pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang benar. Karena itu, kalau saya ditanya orang, saya paling suka menjawab bahwa si A berkata itu, si B berkata ini, dan si C berkata begini. Tetapi, kalau kita hanya mengacu kepada satu hal, pasti itu tidak benar.
Namun, bagi sementara orang itu membingungkan. Dalam beberapa buku, saya dikritik; yang mana pendapat Quraish Shihab yang sebenarnya, berilah masyarakat sebuah pendapat yang pasti.
Saya jadi bertanya balik. Kenapa kalau Anda ke pesta, lalu Anda dihidangkan teh, kopi, jus, dan bermacam panganan, Anda tidak bingung? Anda bisa katakan semua Anda sukai. Pilihlah yang Anda suka. Semua bisa benar. Karena prinsipnya, orang awam itu tidak punya mazhab. Dia hanya memilih mazhab bergantung pada siapa mufti yang memberinya jawaban.
Jadi, yang bermazhab hanya sedikit orang?
Bukan sedikit atau banyak, tetapi karena pilihan awam itu. Kenyataannya, bermazhab itu banyak. Tetapi, kalau kita bicara dari segi hukum, orang awam tidak bermazhab. Mazhabnya adalah siapa tempat dia pergi bertanya.
Dulu ada yang bertanya kepada Prof. Ibrahim Hosen. Orang itu bercerai talak tiga dengan istrinya. Dia tanya, bolehkah dia kembali atau rujuk lagi? Ibrahim Hosen tanya, apakah dia masih mencintai istrinya. Orang itu menjawab, iya. Maka, Ibrahim Hosen katakan, dia boleh kembali rujuk meskipun telah talak tiga karena (talak tiga itu—red.) terjadi dalam satu majelis.
Dalam fikih Syafii, Abu Hanifah, dan lain-lain dikatakan bahwa talak tiga jatuh meskipun terjadi dalam satu majelis. Maka, saya bertanya kepada Prof. Ibrahim kenapa. Prof. Ibrahim katakan, orang itu masih mencintai istrinya. Kalau dia tidak setuju dengan pendapat saya, maka dia akan pergi ke ulama lain sampai dia bertemu ulama yang membolehkannya rujuk kembali. Daripada dia capai-capai, lebih baik saya bolehkan saja.
Orang awam itu tidak punya mazhab. Di Indonesia, mazhab kita adalah Syafii karena pada umumnya ulama menjawab berdasarkan atas jawaban-jawaban yang diberikan Imam Syafii.
Bagaimana persatuan umat di ekstra dan intra Islam sendiri?
Saya mengimbau setiap umat untuk kembali kepada ajaran agamanya, yang mengajarkan kedamaian dan pluralisme. Pluralisme bukan sekadar membiarkan orang lain yang berbeda dengan kita itu hidup. Tetapi, pluralisme juga berarti mencari titik temu sehingga kita bisa bertemu. Kalau kita berbeda, silakan kita berbeda tetapi masih dalam persatuan. Kita ini beda-beda, bukan cuma antara sunah-Syiah, antara satu mazhab pun bisa berbeda. Pendapat ulama di internal mazhab Syafii pun bisa berbeda-beda.
Sebenarnya pertemuan antar-mazhab jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Kita, misalnya, bertemu menyangkut keesaan Allah. Kita bisa kumpulkan ulama dan membuktikan bersama-sama tentang bukti-bukti keesaan Allah. Sehingga setiap orang tidak segan-segan membaca buku yang ditulis oleh orang yang tidak semazhab dengannya di bidang tersebut. Jangan jadi orang yang menuding. Misalnya, saya mengutip Thabathabai, kemudian langsung dituduh “Oh ini Syiah karena mengutip mufasir Syiah”. Kenapa kalau saya mengutip sesama muslim dikecam sedangkan saat mengutip Plato dan orang-orang Barat tidak? Ini kan tidak benar.
Selama ada argumentasi yang baik meski beda mazhab, saya akan cantumkan, karena sejalan dengan pemahaman saya. Begitu juga bila argumentasi itu tidak sejalan dengan pemahaman saya, akan saya katakan tidak sejalan meskipun satu mazhab.
Sekarang ada fenomena sekelompok orang yang suka mempersoalkan hal ini, hanya karena mengutip pendapat-pendapat dari ulama yang berbeda mazhab, malah ada yang menganggap sesat. Orang-orang seperti ini akan habis dan ketinggalan kereta. Itu memang proses. Dulu, di Mesir ada fenomena saling menjelek-jelekkan antar-mazhab. Namun, setelah wawasan orang semakin luas, pemahaman sempit ini lama kelamaan habis.
Catatan: Wawancara selengkapnya kunjungi Islamic Cultural Center

Tinggalkan Balasan ke Ali Reza Batalkan balasan