Islam Tidak Menganjurkan Kaya Raya

📅

📝

Suatu hari, Khalifah ‘Umar bertamu ke rumah Rasulullah ﷺ. Dia melihat Rasul sedang berbaring di atas tikar kasar sampai meninggalkan bekas pada punggungnya. ‘Umar lantas berlinang air mata.

Dia sedih karena teringat bagaimana para kaisar dan raja hidup dalam kemewahan, namun utusan Allah nampak memprihatinkan. Rasulullah tersenyum, sambil berkata, “Apakah engkau tidak rela, mereka mendapat dunia sedangkan kita mendapat akhirat?”

Ketika sebagian kaum muslim beranggapan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk hidup kaya raya, Nabi ﷺ memilih untuk hidup sederhana. Kesederhanaan nabi adalah kesadaran beliau, bukan karena kondisi ekonomi atau karena sedang mengemban misi.

“Kalau aku mau, niscaya Allah akan memberikan gunung emas dan perak kepadaku,” kata Nabi kepada ‘Ā’isyah.

Menurut saya, Islam versi Rasulullah tidaklah menganjurkan umatnya untuk kaya raya. Ada riwayat menyebut, “Tidak ada kekayaan yang terkumpul kecuali ada hak orang yang dizalimi di dalamnya.” Riwayat ini memang lemah, tapi nas lain dapat menjelaskan maksudnya.

Islam melihat kekayaan dari dua sisi: negatif dan positif. Hadis yang mengulas sisi positif kekayaan menunjukkan bahwa Islam tidak melarang pencarian rezeki dalam bentuk harta. Bahkan ia bisa menjadi perantara untuk mencapai akhirat, sebut saja kebutuhan harta untuk haji.

Bahkan secara kolektif, umat Islam dianjurkan untuk mandiri secara ekonomi dan tidak tunduk kepada non-muslim. Namun secara individual, harta hanyalah sarana, bukan tujuan.

Dalam Al-Qur’an, orang beriman diminta waspada agar jangan sampai harta membuat kita lalai dari mengingat Allah. Bahkan, Allah mengecam orang yang berlomba bermegah-megahan sampai ke dalam kubur.

Jika Al-Qur’an mewanti-wanti bahaya materialisme; Rasul—yang sudah tentu tidak akan tergoda harta—tetap berupaya menjauhi kenikmatan duniawi; apatah lagi sekelompok orang yang dibebani gelar pewaris para nabi. Dalam Biḥār al-Anwār, Nabi ‘Isā berkata:

الدينار داء الدين، والعالم طبيب الدين، فإذا رأيتم الطبيب يجر الداء إلى نفسه فاتهموه، واعلموا أنه غير ناصح لغيره

Dinar adalah penyakit agama dan ulama adalah dokter agama. Ketika engkau melihat seorang dokter mendatangkan penyakit pada dirinya, curigailah dia. Ketahuilah bahwa dia bukan penasihat yang tulus bagi orang lain.

Islam tidak hanya meminta kita mewaspadai ulama yang bergelimang harta, tetapi juga pejabat negara yang mengemban sebagai pelayan publik.

Sayidina ‘Alī bin Abī Ṭālib mengirim surat kepada Mālik al-Asytar yang menjabat sebagai Gubernur Mesir pada masanya. Surat itu disebut sebagai konstitusi politik Islam pertama yang memuat prinsip tata kelola pemerintahan. Dalam salah satu bagiannya, Sayidina ‘Alī menulis:

Hendaklah hatimu dipenuhi kasih sayang kepada rakyatmu. Janganlah engkau menjadi binatang buas yang merasa cukup dengan memangsa mereka… Jangan biarkan kemewahan apapun menjauhkan Anda dari kaum miskin.

Pesan ini tidak dimaksudkan bahwa ulama dan pejabat harus hidup miskin dan tidak menjaga harga diri. Imam Ja‘far aṣ-Ṣādiq pernah dikritik oleh Sufyān aṡ-Ṡaurī karena dianggap memakai pakaian terlalu bagus.

Imam kemudian membuka pakaian luarnya dan memperlihatkan pakaian kasar di dalamnya, sambil berkata, “Ini (pakaian sederhana) untuk Allah dan ini (pakaian bagus) untuk kalian.”

Kisah ini bukan legitimasi untuk hidup mewah. Tanpa perlu berpura-pura miskin untuk membangun citra, Imam Ja‘far justru membangun keseimbangan. Di hadapan Allah, ada kesederhanaan. Di hadapan manusia, ada kehormatan.

Islam menekan akumulasi harta berlebih pada seseorang dengan membuat berbagai jalur sosial: khumus, zakat, infak, sedekah, dan sebagainya. Instrumen tersebut disiapkan agar harta itu tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja yang mungkin tanpa disadari merampas hak orang lain.

Ironis, ketika sebagian besar masyarakat berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam kondisi serba terbatas, ada ustaz dan pejabat publik tampail dengan rumah dan kendaraan mewah. Pertunjukan gaya hidup yang akan memperlebar jurang kepercayaan masyarakat.

Bagi mereka, hidup sederhana seperti yang dicontohkan Nabi bukanlah opsional, melainkan tuntutan moral. Karena pada akhirnya, Allah tidak bertanya seberapa banyak harta yang dikumpulkan, tetapi sejauh mana harta itu dipakai untuk membantu masyarakat dan menjaga martabat umat Islam.


Discover more from islah

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.