Masih ingat dengan Al-Qaeda? Sebuah organisasi yang dikenal karena aksi teror mereka yang mengubah dunia. Tanggal 11 September 2001 pagi, mereka menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Centre di New York.
Amerika Serikat butuh waktu sepuluh tahun untuk membunuh pemimpinnya, Osāmah bin Lāden, di Pakistan. Ayman Al-Ẓawāhirī yang menjadi emir kedua Al-Qaeda, bertahan selama sebelas tahun sebelum kemudian tewas karena serangan drone di Afghanistan. Sejak Agustus 2022, Al-Qaeda dipimpin oleh Saif Al-’Adel.
Posisi Al-Qaeda
Sekitar tahun 1988, jihadis alumni Perang Soviet-Afghanistan punya keyakinan yang sama: aliansi Yahudi-Kristen (dipimpin Amerika Serikat) sedang menghancurkan Islam, termasuk lewat perang. Karenanya mereka sepakat melahirkan Al-Qaeda di Pakistan. Aktivitas Al-Qaeda kemudian berpengaruh luas ke beberapa negara.
Cabang Al-Qaeda di Irak yang berselisih tentang ideologi daulat Islam akhirnya memisahkan diri. Mereka membentuk organisasi sendiri yang bertahun-tahun kemudian dikenal sebagai ISIS. Jubir ISIS sempat menyindir kalau Al-Qaeda terlalu lunak kepada muslim Syiah.
Dr. David R. Stone, profesor di US Naval War College, mengatakan kalau Bin Lāden sebenarnya memandang kerja sama antara kelompok Islam–sunnī dan Syiah–sebagai faktor penting keberhasilan Al-Qaeda. Karenanya, Al-Qaeda periode awal tidak membawa isu sektarian. Mereka cuma fokus pada anti-imperialis, anti-Zionis, dan anti-Amerika Serikat.
Bahkan pengamat melihat akar kerja sama Al-Qaeda dengan Iran sudah terjadi sejak 1990-an. Beberapa orang Al-Qaeda dan sekutunya asal Mesir dikirim ke Lebanon untuk mendapatkan training dari Hizbullah. Inilah contoh kerja sama unik antara sunnī dan Syiah dalam melawan hegemoni Barat.
Era Saif Al-’Adel
Salah satu anggota Al-Qaeda yang berangkat ke selatan Lebanon adalah Saif Al-’Adel. Di sana, ’Adel belajar dan latihan bersama dengan Hizbullah tentang pengumpulan intelijen, keamanan informasi, dan penggunaan bahan peledak. Sejak saat itu, dia bertanggung jawab untuk menjaga hubungan Al-Qaeda dan Iran.
Makanya tidak heran ketika pimpinan Al-Qaeda pergi meninggalkan Afghanistan setelah serangan 9/11, ’Adel pergi bersembunyi di Iran sampai akhir 2022. Sejak saat itu, aliansi Al-Qaeda dengan Iran dipandang semakin kuat.
Pada medio Juli 2024, Saif Al-’Adel mengingatkan pentingnya membangun aliansi di antara negara muslim bersenjata untuk melawan Barat dan Israel, khususnya atas apa yang menimpa Gaza. Hal itu diungkapkan ‘Adel dalam rangkaian artikel yang ditulis di bawah tajuk “Inilah Gaza; Perang eksistensi… bukan perang perbatasan.”
‘Adel mengatakan akan lebih baik kalau mempercayakan manajemen perlawanan terhadap musuh kepada “pihak yang mempunyai kemampuan terbesar untuk mendapatkan teman daripada menciptakan musuh; dengan kapasitas untuk membangun aliansi yang kuat dengan kebijaksanaan politik.”
Menurut Dr. Michael Barak dari International Institute for Counter-Terrorism, secara tidak langsung Saif Al-‘Adel menyiratkan kalau Iran harus memimpin pertempuran melawan Israel dengan melibatkan organisasi sunnī dan Syiah.
Puluhan tahun silam, Imam Khomeini sudah mengatakan bahwa Palestina merupakan aksis atau poros bagi persatuan kaum muslim. Bukan karena faktor agama, namun karena rakyat Palestina merupakan wujud nyata dari kelompok yang tertindas. Dalam serangan Zionis terkini, puluhan ribu rakyat Palestina telah menjadi korban.
Akankah kita sibuk dengan perselisihan di saat Israel terus memperluas wilayah jajahannya?

Tinggalkan Balasan ke raleecollins88 Batalkan balasan