Strategi untuk menghadapi kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah dengan silaturahmi dan saling menghormati. Itulah pesan Dr. Perwira, S.H., M.H., M.Si dalam seminar internasional memperingati bulan maulid yang diadakan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan Majelis Ukhuwah Syiah-Sunni (MUHSIN). Hadir mewakili Menko Polhukam, dia yakin bahwa dengan cara tersebut, tidak ada kelompok, baik itu agama atau ras, yang akan merasa lebih tinggi dari kelompok lain.
Dihadiri ribuan orang dari berbagai daerah, peringatan maulid ini juga dihadiri oleh muslim ahlusunah asal Iran. Melalui seminar dan peringatan maulid tersebut, Dr. Perwira menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan sekaligus mengharapkan kontribusi dari seluruh pihak kepada negara dengan cara meniru sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw.
Duta besar Iran, Dr. Mahmoud Faranzadeh, yang hadir pada acara tersebut juga menyampaikan pesan maulidnya. Nabi Muhammad saw. merupakan poros (axis) bagi persatuan umat Islam yang sama-sama mencari pengajaran nabi. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam tidak akan bisa mendominasi dunia jika masih terjadi perpecahan dalam umat Islam. Dr. Faranzadeh juga mengatakan bahwa kebangkitan masyarakat di Timur Tengah dan Barat merupakan fitrah yang diberikan Tuhan jika manusia merasa kebebasannya ditekan pemimpin zalim.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka… (QS. Al-Fath: 29)
Pembicara utama seminar peringatan maulid adalah Ayatullah Naim Abadi, seorang wali fakih yang berasal dari Provinsi Hormozgan dengan ibu kota Bandar Abbas. Bandar Abbas merupakan kota dengan 30% penduduknya bermazhab Syafii dan Hanafi. Pada acara tersebut dia mengatakan bahwa maulid merupakan nikmat besar karena banyak bangsa lain yang mengagungkan tokohnya masing-masing, sementara Nabi Muhammad saw. merupakan sebaik-baik makhluk.
Berbicara tentang ukhuwah islamiah, Ayatullah Abadi mengatakan bahwa ucapan yang ditujukan untuk perpecahan umat muslim, baik itu berasal dari awam Syiah maupun suni, merupakan ucapan setan. Melalui acara seperti ini, beliau berharap agar mata musuh-musuh Islam menjadi buta karena persatuan yang kita lakukan. Karena, sebagaimana sahabat nabi Salman r.a. pernah katakan, bahwa kita adalah putra-putri Islam.
Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik… (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Hadir pada acara yang sama Ketua PBNU Prof. Dr. Maidir Harun. Mengutip surah Al-Ahzab ayat 21, dia mengatakan bahwa tradisi yang baik seperti maulid merupakan salah satu cara untuk mengambil suri teladan Rasulullah saw sebanyak-banyaknya. Mengutip pendapat Yusuf Al-Qaradhawi mengenai Islam sebagai peradaban masa depan, beliau mengatakan bahwa peradaban Islam memiliki perbedaan dengan peradaban lain karena memiliki aspek spiritual yang sakral. Barat misalnya, telah menghilangkan aspek sakral dari lembaga pernikahan, sehingga banyak anak yang tidak mengetahui orang tuanya.
Peradaban masa depan tersebut akan terwujud jika umat Islam memiliki kunci penting bernama persatuan. Beliau mengatakan bahwa ahlusunah dan Syiah memiliki poros akidah yang sama: ketauhidan, kenabian, dan hari akhir. Perpecahan yang terjadi hanya akan dimanfaatkan oleh kepentingan politik.
Sementara itu, pembicara ketiga adalah Ayatullah Dr. Abdulkareem Biazar Shirazi, Rektor Universitas Taqrib. Beliau menceritakan bagaimana nabi lahir dan hidup dalam kondisi lingkungan yang penuh dengan perselisihan dan peperangan. Salah satu tugas beliau adalah mendamaikan suku-suku tersebut dengan cara yang digunakan para nabi sebelumnya, yakni membersihkan hati dan jiwa dari sifat hasud.
Pada masa awal, Islam mengenal dua pemikiran yang berasal dari dua daerah berbeda. Dari kota Madinah muncul ashabul hadis dan dari kota Kufah muncul ashabur ra’yi. Abu Hanifah yang berasal dari wilayah Kufah mengutus muridnya ke Madinah untuk mempelajari pendapat ahlul Madinah tersebut. Dari mempelajari kedua pemikiran itulah muncul kitab fikih muqaranah. Imam Syafii yang mempelajari kitab tersebut melahirkan karya penting lainnya dalam khazanah fikih perbandingan, Al-Umm.
Namun sayangnya, sejak abad delapan hijriah, ilmu fikih perbandingan mulai tidak digemari sehingga kolonialisme memanfaatkan dengan mengadu domba umat. Karena itulah, berawal dari Mesir, perlu rasanya didirikan lembaga pendekatan mazhab untuk saling mengenal dan membuka cakrawala pemikiran seluas-luasnya.
Klik www.taqrib.info untuk informasi selengkapnya.
Hadir sebagai pembicara lain adalah pengurus Dewan Masjid Indonesia, H. Daud Poliradja. Sementara KH. Jalaluddin Rakhmat dari IJABI mengutipkan sebuah kisah tentang Salman r.a. Suatu ketika, sekelompok orang sedang membanggakan kabilahnya masing-masing. Mereka dengan bangga menyebutkan asal dari kabilah seperti Aus atau Khazraj. Sampai akhirnya Salman ditanya, “Putra siapa engkau, hai Salman?” Dengan berdiri Salman berkata, “Anâ ibnul Islâm. Aku putra Islam, Salman Al-Muhammadi.”

Tinggalkan Balasan ke dasmansyah Batalkan balasan