Makkah dan Madinah. Dua kota terpenting bahkan suci bagi umat Islam. Keduanya menjadi suci karena keberadaan Ka’bah di Masjidilharam dan makam Nabi Muhammad saw. di Masjid Nabawi. Melalui perang dan pertumpahan darah, kedua kota tersebut kini dikuasai Kerajaan Arab Saudi. Kombinasi kekuataan Bani Sa’ūd di Riyadh dan Muḥammad bin ‘Abd Al-Wahhab di Nejd serta dukungan asing, mampu menumpaskan Kesultanan Utsmaniah dan Kerajaan Hejaz.
Dahulu para rajanya bangga dengan gelar ṣāḥib al-jalālah (paduka mulia). Setelah menguasai dua kota suci, Bani Sa’ūd menggunakan gelar Khādim Al-Ḥaramain atau Penjaga Dua Kota Suci. Namun, Bani Sa’ūd tidak melupakan ideologi yang dibawa Muḥammad bin ‘Abd Al-Wahhab. Dalih “memurnikan” tauhid menjadi alasan untuk mendegradasi kedudukan agung Nabi Muhammad saw. Klaim sebagai muwahid sejati dilakukan bersamaan dengan mengobral kata-kata “musyrik” dan “bidah” bagi yang tidak sepaham dengannya
Apa yang dihapus di Masjid Nabawi?
Ketika Kesultanan Utsmaniah membangun kembali Masjid Nabawi, makam Nabi saw. dipercantik. Pintu makam nabi yang mulia dibuatkan kaligrafi bertuliskan Yā Allāh Yā Muḥammad (يا محمد يا الله) secara bersamaan. Foto lawas pagar tersebut memperlihatkan dengan jelas kalimat itu. Namun ideologi Wahabi menganggap penyebutan “Yā Muḥammad” adalah bentuk kesyirikan. Seolah orang yang mengucapkannya menyetarakan nabi dengan Allah. Meski seluruh umat Islam sadar bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan-Nya.
Oleh karena itu, susun kaligrafi itu harus diubah dengan “halus”. Mereka menambahkan satu titik di bawah huruf “ha (ح)” sehingga menjadi huruf “jim (ج)” lalu menghapus huruf “mim (ـمـ)” untuk kemudian menambahkan dua titik sehingga terlihat seperti huruf “ya (ـيـ)”. Kemudian frasa yang terbaca adalah Yā Allāh Yā Majīd (يا مجيد يا الله). Sebuah kebijakan yang dapat menjaga “kemurnian” akidah umat.
Apa yang ditulis di Masjidilharam?
Namun kebijakan di makam Nabi saw. tersebut, berbeda dengan yang diterapkan di Ka’bah. Sebagai kiblat, umat Islam yang mendatangi Ka’bah dan salat di sana ingin merasakan ketenangan. Namun, alih-alih menjaga soal tauhid, bangunan yang menjadi simbol tauhid justru digunakan sebagai papan pengumuman kerajaan.

Orang awam yang sekilas melihat Ka’bah akan mengira bahwa kiswah yang menutupi Ka’bah hanyalah kaligrafi ayat Al-Qur’an.

Namun jika bagian yang dilingkari merah tersebut dibaca, kaligrafi itu berarti: “Kiswah ini dibuat di Makkah Al-Mukarramah dan hadiah untuk Ka’bah Al-Musyarafah. Khādim Al-Harāmain Al-Syarīfain ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-‘Azīz Āli Sa’ūd, semoga Allah menerima amal darinya. Tahun 1426.”

Sedangkan pada bagian ini, kaligrafi tersebut berarti: “Tirai ini dibuat di Makkah Al-Mukarramah dan hadiah untuk Ka’bah Al-Musyarafah. Khādim Al-Harāmain Al-Syarīfain ‘Abdullāh bin ‘Abd Al-‘Azīz Āli Sa’ūd, semoga Allah menerima amal darinya.”
Umat Islam akan sulit menemukan nama nabi “Muḥammad” di kiswah Ka’bah. Hal itu dapat membahayakan tauhid, membuat iman tergoncang, bentuk kultus terhadap nabi, dan seketika menjadi musyrik. Tapi nama lengkap Bani Sa’ūd muncul lingkungan Ka’bah. Padahal, sebuah potongan kiswah dari era Kesultanan Utsmaniah masih menuliskan nama Nabi Muhammad saw.

Begitu juga dengan pintu masuk bagian barat Masjidilharam yang diberi nama “Pintu Raja Fahd”. Begitu juga ada “Pintu Raja ‘Abd Al-Mālik”. Seorang narablog bernama Hammad Alqadri mengatakan, “Siapapun yang memiliki sedikit iman di hatinya akan mengatakan bahwa inilah bentuk perpaduan arogansi dan superioritas dengan menggunakan gelar raja dan namanya di tempat paling suci di muka bumi.” Wallahualam.


Tinggalkan Balasan ke Mr.Nunusaku Batalkan balasan