Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik (ahsanal qashash) dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelumnya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Itulah bagian awal dari surah Yusuf yang selalu diputar dalam setiap episode film besutan Farajollah Salahshoor. Memang benar bahwa satu huruf dalam ayat Quran bisa memiliki beragam makna, apalagi dengan satu ayatnya. Jadi ayat di atas juga tentu memiliki beragam pemaknaan, misalnya bidang astronomi. Tapi, mendengarkan ayat di atas pada setiap awal episode film Yusuf membuat saya teringat dengan dua belas imam ahlulbait. Apa hubungannya?
Begini… Nabi Yakub a.s. memiliki dua belas putra yang kelak menjadi pemimpin suku Bani Israil. Jumlah ini sama seperti para imam ahlulbait keturunan nabi, yang pernah diberitakan oleh beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sahih Muslim: “Islam akan senantiasa tegak dan mulia hingga berlalunya dua belas khalifah…” Mereka jugalah yang disabdakan oleh Rasul saw. bahwa ahlulbait adalah bintang-bintang di langit yang memberikan kesalamatan bagi penduduk bumi.
Siapa matahari dan bulan yang sujud? Kalau dalam sejarah kita tahu bahwa matahari adalah Nabi Yakub dan bulan adalah ibu pengasuh Nabi Yusuf a.s., maka di sini saya teringat dengan Nabi Muhammad saw. dan Fatimah az-Zahra. Bagaimana Yakub sebagai seorang ayah sujud kepada Yusuf sebagai seorang anak? Inilah sujud ketaatan atas perintah Allah kepada pribadi yang memiliki kesempurnaan dalam penyampaian risalah.
Sejak awal kelahirannya, Nabi Yusuf a.s. sudah memiliki keutamaan tersebut. Dalam kisah, Yakub a.s. terlihat seperti kesulitan dalam menyampaikan risalah, terlebih dalam melawan arogansi kuil berhala. Tapi kelahiran Yusuf, mampu membungkam semua itu; hujan turun pertanda akhir paceklik dan kuil berhala kemudian terbakar. Barulah kemudian Yakub a.s. berhasil menyampaikan risalahnya dengan mengislamkan seluruh penduduk Faddan Aram.
Hal lain yang patut diketahui dalam kaitannya dengan kedudukan spiritual adalah berpisahnya Yusuf a.s. dengan Yakub a.s. Nabi Yakub begitu sedih, menangis terus-menerus hingga matanya memutih dan buta. Bagi orang awam, seperti kebanyakan penduduk Kanaan, yang tidak mengerti akan mengatakan bahwa perilakunya berlebihan. Namun tangisan ini bukan sekedar tangisan ayah kehilangan anak dalam hal hubungan darah. Tapi tangisan kerinduan akan kekasih Allah. Nah, seharusnya kerinduan dan penantian kita kepada Imam Mahdi, sama seperti penantian Yakub kepada Yusuf a.s.
Di dalam hati seorang nabi hanya ada Allah, semua perilakunya karena Allah semata. Ketika Rasulullah saw. menyerukan kita untuk mencintai dan mengikuti ahlulbait dan mengabarkan bahwa Imam Mahdi yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi kezaliman berasal dari keluarganya, itu bukan karena latar belakang hubungan darah. Tapi ia memang perintah dari Allah. Karena nabi adalah pribadi paling sensitif terhadap makhluk dan Khalik.
Kedudukan Nabi Yusuf yang lebih tinggi dari ayahnya semakin terlihat ketika beliau mampu melewati segala ujian dan menjadi penguasa Mesir. Tidak sekedar penguasa dalam arti politik kekuasaan wilayah tetapi juga menjadi pemimpin risalah dari Allah. Syariat sempurna yang dibawa Rasulullah saw. akan menyelimuti seluruh bagian bumi dengan kehadiran Imam Mahdi a.s. Pemerintahan Yusuf a.s. akan menjadi contoh kecil pemerintahan Imam Mahdi afs. yang dicita-citakan oleh seluruh nabi dan malaikat.
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadafin) di bumi itu dan hendak menjadikan mereka imam-imam dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. 28: 5)
Kontroversi Visualisasi
Larangan visualisasi nabi melalui peran dalam sebuah film memang menuai kontroversi. Kultur Persia sepertinya memang tidak melihat adanya “tabu” dalam hal tersebut, terlihat dari berbagai film sejarah-keagamaan yang sudah cukup banyak diproduksi. Namun kultur suni sangat keras melarang. Tidak heran film buatan Iran mengenai para nabi dilarang diputar di stasiun televisi Timur Tengah. Saya pernah dengar kabar bahwa film Yusuf ash-Shiddiq ini rencananya akan diputar di salah satu stasiun televisi Indonesia. Tapi karena sampai sekarang tidak terwujud, saya maklum potensi kontroversi yang mungkin terjadi.
Melihat dua pandangan yang berbeda tersebut dan untuk mengurangi kontroversi, menurut saya, film tersebut disajikan dengan cara berbeda. Misalnya, dengan menambah efek cahaya pada wajah para pemeran sosok suci tersebut sehingga tidak nampak (rugi dong artisnya!). Film-film berlatarkan sejarah keagamaan yang tentunya mengandung nilai-nilai penting sangat sayang jika tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Lagi pula, film Yusuf ash-Shiddiq ini merupakan hasil riset 8 tahun di perpustakaan al-Azhar Mesir, telaah 60 kitab tafsir, dan kunjungan ke Musée du Louvre yang menyimpan benda purbakala Mesir Kuno.
Akan lebih bijak jika fatwa larangan itu ditujukan kepada setiap film yang menceritakan kisah percintaan, kekerasan, fantasi atau fiksi-fiksi lain yang tak masuk akal (silakan Anda bandingkan sendiri film ini dengan sinetron Indonesia!). Meski demikian, fatwa pelarangan tersebut cukup dipandang sebagai sebuah usaha. Karena di era internet seperti sekarang sangat mudah memperolehnya. Semakin dilarang, semakin penasaran, kan? Buat yang mau lihat-lihat silakan klik di sini.
Catatan: Terima kasih buat @ivahabsyech, janji sudah terpenuhi, kan?! :D
Artikel Terkait:
Tinggalkan Balasan ke toing Batalkan balasan