Kampanye penolakan LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender) semakin marak; tapi masih menyisakan pertanyaan: apakah itu hanya efektif untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan? Aksi penolakan yang dilakukan oleh banyak masyarakat harus memperjelas dan mempertegas objek penolakan: apakah penolakan terhadap LGBT yang dimaksud adalah perilaku ataukah justru pelaku? Menurut Islam, larangan terhadap hubungan intim sejenis sudah jelas sebagaimana dinyatakan dalam Alquran.
Nabi yang bernama Lut pernah berkata kepada kaumnya, “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan tidak senonoh dan kotor itu padahal kamu menyaksikannya? Mengapa kalian mendatangi laki-laki untuk memenuhi nafsu dan bukan mendatangi wanita?” Terakhir, sebelum menutup pertanyaannya, Lut juga mengingatkan, “Sebenarnya kalian adalah orang-orang yang tidak mengetahui akibat dari perbuatan kalian sendiri.” (QS. 27: 54-55)
Islam tidak sendiri. Sama seperti semua agama besar di dunia ini, posisi Islam terhadap homoseksualitas sangat jelas—membenci dan secara moral dilarang keras . Namun, interaksi terhadap homoseks dalam masyarakat merupakan isu lain. Kita sering berusaha untuk memutuskan sendiri bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan mereka yang sebenarnya juga bagian dari masyarakat. Ada yang sangat terganggu oleh homoseksual sehingga menghindari segala urusan dengan pelakunya. Menjauh dianggap sebagai satu-satunya cara paling tepat. Sementara kelompok lain mungkin terlalu berlebihan dengan mengingkari eksistensi mereka. Banyak pula yang mengabaikan kecenderungan seksual mereka dan memilih untuk tidak peduli atau pura-pura tidak tahu.
Pertanyaannya, perilaku bagaimana yang tepat untuk berinteraksi dengan mereka di masyarakat? Apakah sudah tepat untuk menjadikan homoseks sebagai teman? Atau karena dosa mereka begitu besar, sehingga kita harus menghindari setiap interaksi dengan mereka dan orang-orang yang menyebarkannya?
Ucapan Imam Ali a.s. menjadi penting dalam hal ini: “Manusia terdiri dari dua kelompok—saudara-saudara kalian dalam keimanan atau yang sama seperti kalian dalam kemanusiaan.” Meskipun perilaku homoseksual ditolak keras, kita harus menghindar dari penolakan terhadap homoseksual sebagai seorang individu, dan terlebih lagi menghindari penolakan terhadap pembenaran yang keliru ini. Pada saat yang sama, penting untuk diingat bahwa Islam mendorong kita untuk berhati-hati atas siapa yang kita ikuti. Nabi saw. mengingatkan, “Seseorang selalu meniru pemikiran dan keyakinan dari teman dan rekannya.” Sehingga, di tempat kerja, sekolah, atau dalam segala aspek kehidupan kita, akan menjadi bijak bagi orang beriman untuk membatasi keterlibatan dan interaksi dengan homoseks hingga ke tahap yang sangat-sangat dibutuhkan.
Tentu sebagai muslim, kita harus menghormati kemanusiaan mereka dan menahan diri dari segala bentuk permusuhan, namun kita juga harus memastikan diri untuk tidak memberikan kesan bahwa kita menyetujui perbuatan mereka, atau bahkan menerima mereka. Homoseksual pada saat ini membangun kelompok lobi dan agen-agen yang kuat serta memiliki hubungan penting terhadap kekuatan politik dan sosial, yang secara kolektif bekerja keras untuk menjadikan homoseksualitas dapat diterima dan menjadi gaya hidup yang sah. Mereka memengaruhi fenomena ini ke dalam masyarakat sampai pada tahap siapapun yang menentang perbuatan tersebut, maka secara otomatis akan dicap sebagai orang yang intoleran dan dicurigai.
Penting bagi setiap orang untuk waspada di dalam masyarakat dan menjauhkan diri dari langkah-langkah yang dapat menjerumuskan kita ke dalam masalah. Namun, pada tingkat individu, kita harus tetap melawan sebuah penyimpangan yang terus-menerus dipaksakan kepada kita. Sekali lagi, perlawanan tidak harus dilakukan dalam bentuk penyerangan atau kebencian terhadap setiap individu atau kelompok masyarakat, tapi melalui prinsip dan ketegasan untuk melawan masyarakat yang mengatasnamakan nilai-nilai “modernitas” dan “progresif” untuk membangkitkan penerimaan terhadap homoseksualitas.
Inilah perilaku yang kita ajukan ketika berurusan dengan homoseks non-muslim. Tapi sayangnya, akhir-akhir ini terjadi peningkatan jumlah homoseks muslim; banyak di antaranya berusaha untuk menghilangkan tabu dan menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan secara Islam. Perilaku ini tidak hanya menyebar luas di masyarakat muslim seluruh dunia, tapi umat muslim dengan santai menunjukkan homoseksualitas mereka di hadapan publik. Bagi muslim kebanyakan perilaku tersebut sangat menganggu, dan usaha untuk mencari cara bagaimana menghadapi homoseks “beriman” ini menjadi tugas melelahkan bagi semua orang.
Tentu kita mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan nahi mungkar—mencegah orang lain melakukan perbuatan jahat. Namun kita harus ingat bahwa ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar amar makruf nahi mungkar menjadi wajib bagi seseorang. Dalam setiap bentuk nahi mungkar, Islam mengajarkan agar kita harus yakin terhadap adanya kemungkinan pengaruh positif terhadap orang yang kita tuju—terlepas seberapa kecil kemungkinan tersebut. Kemudian, jika terdapat risiko dalam menegakkan nahi mungkar, seperti menjadikan iman kita dalam bahaya, membahayakan nilai-nilai yang kita miliki, atau menjadikan kita dalam keadaan kebingungan, maka kita tidak harus melakukannya.
Meskipun keyakinan dan kepastian setiap orang berbeda-beda, namun sebagai sebuah aturan umum kita hanya diwajibkan berusaha untuk menuntun mereka hanya jika kita sendiri benar-benar yakin bahwa kita tidak akan terpengaruh oleh argumen mereka dan percaya bahwa kita memiliki kepastian spiritual dan kapasitas intelektual yang dibutuhkan untuk melawan argumen mereka dan mempengaruhi mereka untuk mengubah jalan hidup mereka.
Sayangnya, ada sejumlah homoseksual muslim (dan kelompok muslim) yang berusaha untuk memutar Islam dengan tujuan membenarkan perilaku mereka dan mendukung mereka dalam wilayah publik. Karena bentuk perlawanan terhadap nilai (kebenaran) diperjuangkan, kita punya tanggung jawab untuk mempertahankan Islam yang sebenarnya dan menjamin perlindungan nilai-nilai Ilahi—dengan harmonis, kebijaksanaan, dan keyakinan.
Bagi para homoseks “beriman”, kita harus memberi tahu bahwa kasih sayang Allah tidaklah memihak. Allah akan mengubah kondisi suatu kaum hanya jika mereka berusaha untuk merubahnya (QS. 13: 11). Berjuang dan mempertahankan hal-hal yang menyucikan hati dan mengangkat jiwa manusia, bukan hawa nafsu yang menimbulkan dosa, dan mewujudkannya dalam perbuatan dan membiarkannya bertahan. Kita harus berusaha untuk menegaskan hal ini, bersama dengan kenyataan bahwa agama kita adalah yang mengatur hidup kita, dan dari Islamlah kita mendapatkan nilai-nilai tersebut.
Sumber: The Awaited One Foundation and/or its suppliers. All rights reserved.

Tinggalkan Balasan ke sofie Batalkan balasan