Beberapa tahun yang lalu, setelah serangan pertama ke makam suci Imam Askari as. di Samarra, sebuah acara di Islamic Center of America di Dearborn di mana masyarakat Syiah dan suni setempat datang secara bersama—mungkin pertama kalinya—untuk mengutuk tindakan keji tersebut diselenggarakan. Setelah salah seorang pembicara menyampaikan beberapa kalimat “seruan persatuan”, seorang pria yang tersentuh berdiri di antara hadirin dan berteriak, “Unity! Unity! Long Live Unity!”
Banyak orang terperanjat. Tapi suara beberapa orang di antara hadirin yang ikut berteriak juga terdengar—sayangnya, peristiwa itu hanya berlangsung beberapa detik dan berhenti. Acara berlanjut tanpa gangguan, dan ketika selesai, semua orang kembali ke rumah masing-masing.
Membayangkan situasi tersebut, bahkan bertahun-tahun setelahnya, muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa banyak umat muslim, suni dan Syiah, memiliki keinginan yang tulus dalam persatuan. Setidaknya secara emosional, terlihat bahwa tidak ada perbedaan dalam mimpi persatuan umat muslim—kita semua rindu gambaran meriah mulainya bulan Ramadan di hari yang sama, merayakan id di hari yang sama, merasa diterima di setiap masjid atau Islamic Center, dan sebagainya.
Namun, ketika mimpi persatuan itu coba diwujudkan dalam praktik pemikiran dan perbuatan, tanpa mengorbankan prinsip keimanan, di situlah banyak dari kalangan Syiah dan suni tidak memiliki gambaran yang jelas. Bagaimana mungkin? Marilah memahami contoh “gambaran optimis” itu:
What Unity Is NOT
Jika ingin memulai bulan Ramadan dan hari raya pada hari yang sama, teori mana yang kita pakai untuk menetapkan awal bulan? Dalam mazhab Syiah saja, ada beberapa keputusan berbagai ulama mengenai masalah ini. Sebagai contoh, seandainya Anda tidak tahu, ada berbagai fatwa dari bermacam ulama dalam isu yang berbeda. Tapi apakah hal itu kita pandang sebagai masalah? Tidak. Cara untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan ini adalah dengan memahami bahwa Islam adalah sebuah agama yang tujuan akhirnya adalah Kebenaran. Wacana akademis, sebagai sarana untuk mencapai kebenaran, karenanya sangat didukung.
Langkah pertama bagi setiap individu adalah memiliki sebuah alasan yang kuat bagi keyakinan pokoknya (tauhid, kenabian, hari akhir, dst.). Kemudian, karena kebanyakan dari kita adalah awam untuk mempelajari hukum-hukum Islam, maka kita kembalikan kepada mereka yang ahli (ulama) yang memiliki keyakinan pokok yang sama dengan kita. Hal ini penting karena tedapat manfaat dari ilmu pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun belajar dan meneliti. Dengan menggunakan alur pikir ini, perbedaan hukum antara para ulama dapat dipandang sebagai sinyal positif dari sebuah pergerakkan akademik untuk mencapai Kebenaran.
Jadi, apakah persatuan berarti masing-masing kelompok harus mengesampingkan keyakinan dan praktik-praktiknya hingga tidak ada yang tersisa di kedua pihak kecuali hal-hal umum di antara mereka? Tentu saja tidak! Pikirkan lagi: bagaimana kita bisa menyingkirkan keyakinan yang benar? Karena ini adalah sesuatu yang kita yakini! Jika hal itu adalah keyakinan yang didasarkan pada akar-akar yang kuat, tidak ada yang bisa menggoyangkannya. Adapun praktik-praktik yang sah, hal itu karena mereka tumbuh dari akar keyakinan yang baik yang tidak bisa dihapuskan sepenuhnya.
Pada akhirnya, Allah menempatkannya dengan indah di dalam Alquran ketika Dia berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. 2:256)
What Unity IS
Baiklah, lalu apa itu persatuan? Jika kita punya semua perbedaan, apa yang kita persatukan? Sebenarnya, sederhana saja. Sebagai muslim, kita bersatu pada keyakinan bersama kita yang menjadikan muslim di tempat pertama. Dengan hal tersebut sebagai landasan, kita bersatu dalam memahami perbedaan masing-masing, dalam mengejar tujuan bersama.
Jika ada tema sensitif yang perlu ditangani, persatuan berarti bahwa kita berusaha membicarakan hal itu secara akademis dan dengan cara sehormat mungkin—dengan tidak menyinggung saudara dan saudari kita yang lain. Persatuan harus menjadi hal yang disadari dengan baik karena terdapat usaha memecah belah umat muslim. Persatuan harus dilakukan secara proaktif untuk memperkuat persaudaraan di antara umat muslim.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. 49: 10)
Imam Khomeini, salah seorang perintis dalam gerakan kontemporer yang memperkuat persatuan Islam, menyerukan umat muslim untuk bersatu dengan kata-katanya: “Umat muslim harus bangkit. Umat muslim harus waspada bahwa jika terjadi sengketa antara ikhwan suni dan Syiah, maka hal itu berbahaya bagi kita semua dan seluruh umat muslim. Kita harus memperhatikan bahwa kita semua adalah muslim, dan kita percaya pada Alquran; kita semua beriman pada tauhid, dan harus bekerja untuk melayani Quran dan tauhid.”
Sumber: “Unity! Unity! Long Live Unity!” Islamic Insights.

Tinggalkan Balasan ke ngelantur boy Batalkan balasan