Bicara soal nama Umayyah dan Hasyim tidak bisa dipisahkan dari sejarah kenabian dan keislaman. Untuk menyikapinya, kita harus runut dari awal. Rasulullah saw. mempunyai garis nasab sebagai berikut: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab. Selain Hasyim, Abdu Manaf memiliki tiga putera lainnya: Muthalib, Naufal dan Abdu Syams.
Saat berdagang, Hasyim meninggal dunia. Putranya ditinggalkan bersama kafilah. Muthalib, saudara lelaki Hasyim, pergi menjemput keponakannya dan membawanya tinggal bersama anak-anaknya sendiri. Kemudian putra Hasyim ini dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Keturunan Hasyim melalui Abdul Muthalib disebut Hasyimiah. Abdul Muthalib memiliki beberapa putra dari istri berbeda, di antaranya: Abdullah (ayah Nabi Muhammad), Abu Thalib (ayah Ali bin Abi Thalib) dan Hamzah (pemimpin para syahid di masanya).
Di sisi keluarga yang lain, suatu ketika Abdu Manaf membeli dan memberikan seorang sahaya bernama Umayyah kepada Abdu Syams, saudara Hasyim. Umayyah, yang penyembah berhala sejak lahirnya, menghabiskan masa kecilnya di tengah masyarakat Kristiani Romawi. Tuannya, Abdu Syams, karena menyukainya, menjadikannya sebagai anak angkat. Sebelum meninggal, Abdu Manaf menyerahkan tanggung jawab istimewanya, yaitu mengurus dan memelihara Kakbah, kepada Hasyim yang dikenal memiliki karakter mulia.
Namun putera angkat dari Abdu Syams yang bernama Umayyah tidak senang jika kekuasaan turun kepada Hasyim. Melalui sidang kekeluargaan, Umayyah mencoba menyingkirkan Hasyim, namun tidak mendapatkan persetujuan banyak pihak. Akhirnya masalah itu dibawa kehadapan hakim. Sayangnya hakim tersebut justru memutuskan kebenaran berada di pihak Hasyim. Maka jatuhlah keputusan hakim untuk menempatkan Umayyah keluar dari Mekkah selama 20 tahun untuk selanjutnya pergi Syam. Inilah awal dari permusuhan klan Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim.
Sejarawan asal Irak, Al-Amini, penulis Al-Ghadîr dan peneliti Iran, Imad Zadeh, memaparkan riwayat dari Ibnu Atsir dan lainnya mengenai Abdu Syams dan Hasyim yang merupakan putra kembar Abdu Manaf yang lahir dengan punggung menyatu, kemudian dipisahkan dengan menunggunakan sebilah pisau. Seorang peramal nasib pada masa itu meramalkan akan terjadi permusuhan abadi antara keturunan dua putra kembar ini.
Kebencian dan pemusuhan antara kedua klan ini semakin kuat. Bani Hasyim memegang amanat sebagai pengawas dan pemelihara Rumah Suci Allah, Kakbah, sebuah posisi yang terhormat dan sangat diinginkan orang-orang, tidak terkecuali Bani Umayyah. Karakter murah hati Bani Hasyim tak memungkinkannya menimbun kekayaan, sedangkan egoisme dan kekikiran Bani Umayyah memberikan jalan baginya untuk menimbun kekayaan.
Api kedengkian Umayyah semakin besar ketika Abdul Muthalib, putra Hasyim, secara menakjubkan menemukan sumber air alami Zamzam yang tersembunyi dan tak pernah diketahui oleh siapapun selama berabad-abad. Penemuan ini menambah rasa hormat dan takzim orang di Jazirah Arab kepada Abdul Muthalib sebagai keturunan Ismail dan menambah kebencian Bani Umayyah.
Abdul Muthalib hanya menyembah Allah dan selalu menerima kehendak Allah tanpa protes. Kualitas imannya kepada Allah terlihat dengan segera dikabulkannya doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya, ketika pangeran Kristiani Abissinia sampai di derah pinggiran kota Mekkah bersama pasukan besar berkendara gajah yang hendak menghancurkan Kakbah. Sejarah mencatat peristiwa ini dalam surah al-Fîl.
Perseteruan keduanya belum juga berakhir hingga munculnya Nabi Terakhir, Muhammad bin Abdullah, yang merupakan bagian keluarga Bani Hasyim. Justru, “pengakuan” diri Muhammad sebagai utusan Allah, membuat Bani Umayyah semakin benci, karena hal itu berarti mereka harus tunduk dan mengikuti ajaran Muhammad.
Kisah-kisah teladan Nabi dalam menyampaikan risalah agama sudah sering kita dengar. Namun ada beberapa kejadian lain yang menimpa Nabi dan Bani Hasyim—mulai dari fisik hingga psikis—yang jarang kita dengar. Kita bisa memulainya dari isolasi atau embargo terhadap klan Bani Hasyim di lembah (syi’ib) Abu Thalib. Tidak boleh menikah, tidak boleh jual-beli, juga tidak boleh keluar lembah selama tiga tahun!
Cobaan psikis lain adalah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi bermuka masam, juga orang tua Nabi dan paman Nabi, yang menjaga dan melindungi Nabi berada di neraka. “Dosa” kedua orang tua Nabi adalah karena mereka orang tua Nabi, dan “dosa” Abu Thalib adalah karena ia ayah dari Ali.
Sebagai tambahan, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau dikenal sebagai Ali Zainal Abidin pernah mendengar orang-orang mengatakan bahwa Abu Thalib adalah kafir. Dalam dadanya terdapat kesedihan dan jeritan bahwa kakeknya dianggap kafir, lalu mengatakan, “Sungguh aneh, sangat aneh. Apakah mereka mencela Abu Thalib ataukah Rasul? Allah telah melarang Rasul membiarkan perempuan mukmin tinggal bersama lelaki kafir dalam banyak ayat Alquran. Tidak seorang pun meragukan bahwa Fatimah binti Asad (istri Abu Thalib) adalah perempuan mukmin terdahulu…”
Imam Zainal Abidin ingin mengatakan bahwa jika Abu Thalib kafir maka tidak mungkin Rasul melawan perintah Allah dengan membiarkan istri Abu Thalib yang mukmin bersama Abu Thalib.
“Dosa” Abu Thalib adalah karena ia ayah dari Ali. Mengapa Ali? Ali, telah membunuh banyak musuh Islam yang terdiri dari pembesar Quraisy di Perang Badr, sekitar 24-36 orang. Di Perang Uhud, ketika para sahabat melarikan diri, Ali tetap setia berada di sisi Nabi. Begitu juga peran Ali di Perang Khandaq dan Perang Ahzab. Di Perang Hunain, ketika sebagian sahabat lari, Ali membunuh sekitar 40 musyrikin. Begitu seterusnya kisah Ali membunuh kaum musyrik.
Setelah apa yang diperbuat Ali, mungkinkah ia menjadi khalifah pengganti Nabi dan “pemimpin” bagi daerah Hijaz? Ali Syariati mengatakan, “Ali adalah ‘korban’ karena kekerabatannya dengan Rasulullah, karena hubungan kesukuan lebih kuat dibanding hubungan keislaman. Mereka masih tetap hidup dalam kesukuan dan tidak mungkin tahan menyaksikan kenabian dan kepemimpinan berada dalam Bani Hasyim.”
Setelah Ali, siapa lagi? Isterinya, Fatimah mengalami ujian berat. Warisan dari ayahnya direbut oleh penguasa dan bahkan rumahnya dikepung hanya agar ia dan keluarganya mengakui penguasa saat itu. Puteranya yang pertama, Hasan menerima stigma buruk oleh musuh Bani Hasyim sebagai orang lemah dan suka berganti istri. Kapan puncak ujian bagi Bani Hasyim?
Karbala; Ajang Balas Dendam
Puncak dari segala kebencian Bani Umayyah kepada Bani Hasyim ditumpahkan pada bulan Muharam. Peristiwa Karbala menjadi ajang balas dendam keluarga Umayyah yang diwakili oleh Yazid bin Muawiyah kepada Imam Husain bin Ali, tidak hanya sebagai cucu Nabi, tapi juga sebagai keturunan Hasyimiah. Salah satu tema besar yang diangkat oleh Yazid adalah dendam atas terbunuhnya leluhur Yazid.
Dendam ini telah tertanam dalam hati para pembesar Umayyah yang tidak bisa ditembus oleh cahaya agama Allah. Imam Husain selalu berusaha mencari jalan agar para musuhnya sadar atas apa yang akan mereka perbuat. Beliau berkata, “Celakalah kalian, atas dasar apa kalian memerangiku? Apakah karena aku mencampakkan kebenaran? Atau karena aku merubah syariat Allah dan meninggalkan sunah?”
Panglima perang Yazid menjawab dengan kalimat yang pasti atas kebenciannya kepada Hasyimiah, “Kami memerangimu karena kebencian kami kepada ayahmu (Ali bin Abi Thalib) dan atas apa yang telah dia perbuat terhadap kakek-kakek kami di Badr dan Hunain!”
Tidak ada jalan lagi. Nasihat sudah tidak mampu merubah niat mereka. Imam pun berteriak, “Aku adalah putra Ali dari keluarga Hasyim. Cukuplah ini sebagai kebanggaanku. Kakekku, Rasulullah, adalah manusia paling mulia di muka bumi. Kami (ahlulbait) adalah pelita Allah di kegelapan dunia. Fatimah ibuku adalah putera Ahmad. Pamanku, Ja’far, dikenal sebagai pemilik sayap di surga. Pada kamilah Alquran diturunkan. Kami adalah sumber kemuliaan wahyu dan petunjuk Ilahi. Kami ahlulbait adalah bahtera keamanan bagi para penduduk bumi. Kami memberitahukan ini kepada umat manusia dalam setiap keadaan. Di hari kiamat, pengikut kami adalah sebaik-baiknya pengikut. Para pembenci kami adalah orang yang paling merugi…”
Panglima perang berusaha membangkitkan semangat anak buahnya dengan berkata, “Celakalah kalian, tahukah kalian siapa yang kalian perangi? Ini adalah anak Ali bin Abi Thalib, pembunuh orang-orang Arab. Serang dia dari berbagai arah!” Pembantaian pun terjadi hingga akhirnya tawanan Bani Hasyim sampai di istana Yazid.
Yazid berdiri di hadapan Zainab binti Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Andai nenek moyangku (yang terbunuh) di Badr menyaksikan pembalasan sebagaimana terhadap suku Khazraj dari pukulan-pukulan pedang. Niscaya nenek moyangku akan menyambut peristiwa Karbala dengan gembira sambil berkata, ‘Rahmat atasmu, wahai Yazid.’ Sebab kita telah berhasil membunuh salah satu tokoh dari pemimpin mereka, sehingga kita sandingkan hal itu sebagai bentuk pembalasan atas tragedi di Badr, maka hal itu akan menjadi impas. Sungguh Bani Hasyim telah dipermainkan oleh kekuasaan yang ada, tanpa hadis dari Nabi atau wahyu yang turun. Kemudian engkau berharap agar Husain tak terbunuh?”
Kalimat terakhir yang diucapkan Yazid tersebut menunjukkan bahwa dia tidak meyakini akan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan hadis-hadis yang diucapkan beliau saw. Lalu Sayidah Zainab menimpali, “Bagaimana kami dapat berharap al-Husain tak terbunuh dihadapan cucu seseorang yang telah memakan hati Hamzah? Bagaimana kami dapat menyimpan harapan terhadap seseorang yang kebencian dan kedengkiannya pada kami telah membusuk dan memenuhi hatinya. Mereka yang selalu memandang kami dengan penuh kebencian dan permusuhan.” Sebagaimana kita tahu, pemakin hati dari Sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib adalah Hindun isteri Abu Sufyan, nenek daripada Yazid.
Yazid pun menjawab, “Pembantaian di Perang Badr telah terbalas di Karbala.”
Ini merupakan klimaksnya. Tidak cukup Abu Thalib dicap sebagai kafir dengan riwayat murahan, keturunan Abu Thalib juga dibantai. Siapa saja korban Karbala? Beberapa di antaranya; Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib; Ja’far bin Ali bin Abi Thalib; Ja’far bin Aqil bin Abi Thalib; Abbas bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Husain bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Muslim bin Aqil bin Abi Thalib; Abdurrahman bin Aqil bin Abi Thalib; Utsman bin Ali bin Abi Thalib; dan tentu saja hampir seluruh keluarga Imam Husain dan Bani Hasyim.
Antiklimaksnya, pada zaman dinasti Umayyah, Ali bin Abi Thalib dan isterinya dicaci maki di mimbar ulama murahan. Pecintanya dan pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh. Hingga sekarang, mereka yang menganggap Abu Thalib sebagai mukmin dan menganggap puteranya, Ali, sebagai imam juga dianggap sebagai sesat dan kafir. Wallahualam.
Catatan: Selesai pada tanggal 6 Muharram 1430 H – 3 Januari 2009 M

Tinggalkan Balasan ke gito Batalkan balasan