Gerakan anti-revolusi Islam Iran, yang menciptakan disharmoni sunnī dan Syiah, sebenarnya tidaklah orisinal. Kondisi itu didiktekan oleh kelompok lain kepada anak-anak muda dengan menanamkan kecurigaan dan pesimisme.
Mereka dipaksa meyakini bahwa revolusi di Iran yang membangkitkan harapan itu bukanlah “Revolusi Islam”, tetapi “Revolusi Syiah” dan Syiah adalah kafir.
Muḥib al-Dīn Al-Khatīb adalah salah satu orang yang menyebarkan kepalsuan Syiah itu kafir. Dia memberi tuduhan tanpa bukti bahwa Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda. Beberapa orang terpengaruh tapi pada saat yang sama mereka mengabaikan fakta lain yang dikatakan para pemimpin muslim terkemuka.
Imam Syahid Ḥasan Al-Bannā, salah satu pelopor gerakan Islam modern, telah menghidupkan gagasan pendekatan sunnī dan Syiah. Dia merupakan peserta Jamā’ah at-Taqrīb baina Al-Mazāhib Al-Islāmiah yang menurut sebagian orang mustahil terwujud. Namun Al-Bannā dan para cendekiawan Islam lain percaya bahwa pendekatan mazhab Islam itu sangat mungkin dicapai.
Mereka sepakat jika sunnī dan Syiah harus bersatu atas dasar keyakinan dan prinsip dasar yang diterima. Mereka harus menerima pendapat satu sama lain dalam hal-hal yang bukan merupakan syarat keimanan atau rukun agama dan tidak mengingkari terhadap sesuatu yang merupakan prinsip agama.
Abdul Karīm Al-Shirazi dalam Al-Waḥdah Al-Islāmiah menulis terkait dengan Jamā’ah at-Taqrīb, “Mereka sepakat bahwa muslim adalah seseorang yang mengimani Allah yang Mahaesa, Muḥammad sebagai nabi terakhir, Al-Qur’an sebagai Kitab, Ka’bah sebagai kiblat, dan Baitullah untuk haji. Begitu pula lima rukun Islam, hari kebangkitan, dan mengamalkan ibadah wajib sesuai syariat. Prinsip yang tersebut merupakan poin kesepakatan di antara perwakilan empat mazhab sunnī dan dua mazhab Syiah, Imamiah dan Zaidiah, yang hadir dalam pertemuan.”
Ulama Al-Azhar dan mufti tertinggi saat itu, Imam ‘Abdul-Majīd Salīm, dan ulama terkemuka, Imam Muṣṭafā ‘Abd al-Rāzzaq and Syekh Syaltūt, termasuk di antara partisipan yang aktif dalam pertemuan tersebut.
Salah seorang pemikir Ikhwan al-Muslimun, Ust. Sālim Al-Bahnasāwī, mengatakan dalam As-Sunnah Al-Muftarā ‘Alaihā, “Sejak terbentuknya Jamā’ah at-Taqrīb baina Al-Mazāhib Al-Islāmiah di mana Imam Al-Bannā dan Imam Al-Qummi ikut serta di dalamnya, kerja sama Ikhwan al-Muslimun dan Syiah sampai berujung pada kunjungan Navab Safavi ke Kairo pada 1954.”
Imam al-Bannā juga pernah bertemu dengan Ayatullah Kashani saat haji tahun 1948. Hal ini diungkapkan tokoh Ikhwan dan murid Imam Al-Bannā, Ust. ‘Abd Al-Muta’āl Al-Jabrī, yang menulis dalam buku Mengapa Ḥasan Al-Bannā Dibunuh? mengutip Robert Jackson:
“Seandainya umur pribadi ini (Al-Bannā) lebih panjang, akan ada banyak manfaat yang bisa diperoleh negeri ini. Salah satu yang utama ialah kesepakatan Al-Bannā dan Ayatullah Kashani, pemimpin muslim Iran, untuk mencabut perselisihan sunnī dan Syiah. Mereka bertemu di Hijaz pada 1948. Tampaknya mereka berunding dan mencapai pemahaman dasar, namun Ḥasan Al-Bannā lebih dulu dibunuh.”
Dari sini, kita bisa simpulkan fakta penting: Pertama, setiap sunnī dan Syiah menganggap satu sama lain sebagai muslim. Kedua, bertemu, memahami satu sama lain, dan mengatasi perbedaan adalah hal mungkin dan sangat dibutuhkan, serta menjadi tanggung jawab gerakan Islam yang memiliki kesadaran agama. Ketiga, Imam Ḥasan Al-Bannā telah melakukan upaya besar untuk mencapai tujuan ini.
Artikel ini merupakan bagian dari buku As-Sunnah Al-Syī‘ah Ḍajjah Mufta’alah karya Dr. Fatḥī Syaqāqī, pendiri Jihad Islam Palestina.

Tinggalkan komentar