Mencari Teladan Materi dan Maknawi

-

๐Ÿ“…

๐Ÿ“

โ€œPandanglah fakir miskin dari segi material dan ulama dari segi spiritual.โ€ Itulah nasihat seorang alim yang dulu terpasang di dinding kamarku. Beberapa hari terakhir aku kembali memikirkannya.

Aku mencari nasihat tersebut dalam bahasa aslinya dan ternyata ada perbedaan. Nasihat aslinya tidak menggunakan frasa โ€œfakir miskinโ€ melainkan payintar; bukan pula โ€œulamaโ€ melainkan auliya Allah

Aku teringat pesan itu saat tersenyum mendengar cita-citamu untuk menjadi kaya raya. Begitu pula saat kamu merasa malu karena belum punya materi seperti kawanmu. Aku pernah katakan kepadamu, anakku, dan aku akan lanjutkan di sini.

Sebagai manusia, kita punya modal keunggulan di antara semua makhluk karena kita punya dua dimensi. Pertama, dimensi fisik atau materi. Dalam jisim manusia ada yang namanya garizah/insting atau kecenderungan yang berpotensi memunculkan sifat hewani. Kedua, dimensi spiritual atau maknawi. Di sinilah roh kita berperan yang menjalankan akal dan nurani kita untuk kemudian terwujud dalam akhlak.

Oleh karena itu, kebutuhan kita sebagai manusia pun terdiri atas dua jenis: kebutuhan material dan maknawi.ย 

Dimensi pertama

Cara pertama untuk memperbaiki pandangan kita terkait materi, kita harus memahami efek negatif dari materi yang berlebihan. Kalau kita sadar bahaya buruknya, kita akan menghindari eksesif dan akhirnya berpaling kepada rasa berkecukupan.

ู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุตู’ุจูŽุญูŽ ูˆูŽุงู„ุฏูู‘ู†ู’ูŠูŽุง ุฃูŽูƒู’ุจูŽุฑู ู‡ูŽู…ูู‘ู‡ู ููŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ูููŠ ุดูŽูŠู’ุกูุŒ ูˆูŽุฃูŽู„ู’ุฒูŽู…ูŽ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ู‚ูŽู„ู’ุจูŽู‡ู ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนูŽ ุฎูุตูŽุงู„ูุŒ ู‡ูŽู…ู‹ู‘ุง ู„ุง ูŠูŽู†ู’ู‚ูŽุทูุนู ุนูŽู†ู’ู‡ู ุฃูŽุจูŽุฏู‹ุงุŒ ูˆูŽุดูุบู’ู„ุง ู„ุง ูŠูŽุชูŽููŽุฑูŽู‘ุบู ู…ูู†ู’ู‡ู ุฃูŽุจูŽุฏู‹ุงุŒ ูˆูŽููŽู‚ู’ุฑู‹ุง ู„ุง ูŠูŽุจู’ู„ูุบู ุบูู†ูŽุงู‡ู ุฃูŽุจูŽุฏู‹ุงุŒ ูˆูŽุฃูŽู…ูŽู„ุง ู„ุง ูŠูŽุจู’ู„ูุบู ู…ูู†ู’ุชูŽู‡ูŽุงู‡ู ุฃูŽุจูŽุฏู‹ุง

Siapa yang bangun di pagi hari dan dunia lebih besar dalam keinginannya, ia tidak mendapatkan apapun dari Allah. Allah justru akan menanamkan 4 (empat) karakter dalam hatinya: (1) Kebingungan yang tiada putus; (2) Kesibukan yang tiada berujung; (3) Kebutuhan yang tiada terpenuhi; (4) Khayalan yang tidak berujung. (HR Thabrani)

๐Ÿ“š Hadis Ahlusunah: Aแนญ-แนฌabarฤnฤซ
๐Ÿ“š Hadis Syiah: Mฤซzฤn Al-แธคikmah

Anakku, segala sesuatu yang kita jadikan tujuan maka hal itu tidak akan hilang dari hati dan pikiran. Semakin dipikirkan, semakin kuat hubungannya. Apapun itu. Kalau tujuan kita dunia, maka hati dan pikiran akan terikat pada dunia.

Orang yang tidak meraih tujuannya akan merasa sedih dan berkekurangan. Akhirnya dia tidak bisa melihat apa yang sebenarnya dia miliki. Kalau sejak awal kita menyadari efek buruknya, kita akan menarik diri dari dunia. Lalu kita bisa menikmati dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki.

Tapi apakah agama melarang kita menjadi kaya dan memiliki dunia? Tidak.

Ada perbedaan antara orang yang memiliki materi duniawi dan orang yang hatinya terikat pada dunia. Dalam Islam, dunia bukanlah tujuan akhir. Sebagai orang beriman, kita diminta untuk tidak memiliki sesuatu yang melebihi dari kebutuhan kita di dunia. Apalagi jika kita tidak bisa mempertanggungjawabkannya.

Kalian pasti tahu cerita Nabi Sulaimฤn a.s. yang punya kerajaan dan kekayaan. Dia memiliki banyak pembantu dan pasukan. Tapi dia tidak merasa terikat dengan dunia ini. Meski begitu, dalam khazanah ahlusunah dan ahlulbait, dikatakan jika nabi terakhir yang masuk surga adalah Sulaimฤn. Hal itu karena karunia yang diberikan kepadanya di dunia.

Itu sebabnya, ulama menasihati agar dalam urusan materi kita diminta memandang orang dari kelas bawah (proletar). Dengan begitu, tidak akan muncul perasaan berlebih-lebihan dalam diri kita. Sebaliknya, perasan kanaah atau cukup dalam diri kita bertambah.

Ingat โ€˜kan waktu kita melihat kehidupan orang-orang di sosial media atau televisi yang memamerkan kehidupan mewahnya? Sedikit banyak muncul rasa iri hati dalam diri.

Bahayanya lagi kalau sampai kita kecewa dengan keadaan sekarang. Lalu kita lupa bersyukur dengan apa yang kita miliki. Sesuatu yang lebih beruntung dari kebanyakan orang. Surah Thaha ayat 131 sudah memperingatkan kita.

Dimensi kedua

Dimensi spiritual atau maknawi tidak berasal dari dunia ini. Sehingga dia tidak memiliki batasan seperti materi. Namun pemahaman kita tentang dimensi kedua ini mengenai siapa waliullah akan melengkapi pemahaman kita tentang dimensi pertama.

Kata wali dalam bahasa Arab bermakna menempatkan sesuatu di samping sesuatu yang lain, sehingga tidak ada jarak di antara keduanya. Jadi sesuatu terhubung dan tidak ada hal lain di antara keduanya.

Para waliullah atau aulia Allah berarti orang-orang yang menikmati kedekatan dengan Allah. Mereka mencapai derajat tertinggi dalam keimanan dan penghambaan. Imannya telah sampai pada titik kesempurnaan seorang hamba.

Dalam bahasa mufasir Tabatabai, mereka adalah orang yang tidak lagi melihat pemilik selain Tuhan dan meyakini bahwa diri mereka tidak memiliki sesuatu apapun.

Imam Sajjฤd pernah menjelaskan maknanya secara utuh. โ€œAulia Allah adalah mereka yang menunaikan kewajiban Allah, menaati perintah Rasulullah, dan menjauhi larangan Tuhan. Mereka zuhud di dunia yang fana ini dan sangat mengharapkan pahala dari Tuhan. Mereka memperoleh dan membelanjakan rezeki Allah yang halal dan bersih untuk menyambung hidup mereka. Tujuan mereka memperoleh harta bukan untuk sombong atau membanggakan diri, bukan pula meningkatkannya. Karena itu mereka menunaikan hak-haknya yang wajibโ€ฆโ€

Anakku, lihatlah kelompok sosial terbawah dari segi material dan para wali Allah dari segi spiritual. Mari kita sama-sama memperbaiki urusan kita dalam perkara spiritual untuk bekal akhirat. Insyaallah materi di dunia ini akan lebih mudah untuk kita upayakan.


Discover more from islah

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.