Bagaimana kalau seandainya kita hidup di negara yang pemerintahannya zalim? Pejabatnya bermewah-mewahan, sedangkan rakyat hidup kewalahan. Lembaga yang seharusnya memberikan keamanan, justru melakukan pembunuhan. Kebijakan tidak berpihak kepada rakyat, tapi mengakibatkan banyak mayat.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَ طِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُ ولِى الْاَ مْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ululamri di antara kalian.
Surah Al-Nisā’ ayat 59 di atas merupakan dasar kewajiban mukmin untuk taat kepada ululamri atau penguasa urusan umat yang kemudian diasosiasikan sebagai pemerintah. Tapi, bagaimana jika pemimpinnya zalim kepada diri sendiri dan orang lain?
Taatilah meski zalim
Bagi jumhur ahlusunah, ayat Qur’an di atas berlaku umum baik ululamri yang adil maupun zalim. Artinya, seorang mukmin wajib menaati pemimpin sekalipun mereka bermaksiat kepada Allah, asalkan tidak menyuruh kita berbuat maksiat kepada Allah. Sebab, urutan ketaatan sebelum ululamri tetaplah Allah dan Rasul.
Dalam khazanah ahlusunah, Rasulullah ﷺ disebut pernah memperingatkan bahwa ada masa ketika pemimpin tidak dikarunia hidayah, tidak pula menjalankan sunah; fisiknya insan, tapi hatinya setan. Sahabat bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
Dalam Ṣaḥīḥ Muslim dikatakan jika Rasulullah ﷺ menjawab, “Dengarlah dan taatlah kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah dengar dan taat kepada mereka.”
Lebih jauh, Syekh Muḥammad Al-’Utsaimīn, ulama salafi Wahabi, mengatakan, “Jika seorang pemimpin (wali al-amr) itu fasik, pemabuk, pezina, penyodomi, zalim, dan melakukan seluruh perbuatan munkar—kecuali kafir, tidak boleh bagi kita untuk keluar berpisah darinya, melainkan wajib menasihati dan mendoakannya.”
Prinsip itulah yang menjadi landasan sebagian besar ulama di Saudi yang selalu menjustifikasi kebijakan rajanya. Ulama ahlusunah melarang adanya pemberontakan kepada pemimpin muslim kecuali adanya kekafiran yang nyata.
Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī disebutkan jika ‘Ubadah memperoleh nasihat dari Rasulullah untuk, “…mendengarkan dan taat (kepada pemimpin) dalam suka atau duka, dalam kesulitan atau kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun.”
Janganlah dizalimi
Muslim Syiah punya ideologi yang berbeda tentang konsep pemimpin yang harus ditaati. Mereka meyakini jika hadis tentang ketaatan mutlak pada pemimpin itu diciptakan pada masa kekhalifahan yang despotik. Tujuannya tak lain untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam Usūl Al-Kāfī, Imam Ja’far Al-Ṣādiq pernah ditanya, “Apakah taat kepada (pemimpin) yang hidup itu wajib?” Imam menjawab “Ya, wajib…” lalu beliau menyebutkan tidak hanya surah Al-Nisā’ ayat 59 di atas, tapi juga Al-Ma’idah ayat 55.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah).
Jika kita perhatikan, kata ululamri dalam surah Al-Nisā’ ayat 59 tidak didahului dengan kata “taatilah” tapi satu kesatuan dengan ketaatan kepada Rasul. Artinya karakteristik ululamrinya haruslah yang sejalan dengan akhlak dan sunah rasul.
Syahid Mohammad Beheshti mengatakan pemimpin muslim yang menindas pasti berdosa besar. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang berdiam diri dengan penindasan? Dia mengatakan, “Dari sudut pandang Islam, orang yang pasrah dengan penindasan itu dosa besarnya sama dengan penindas. Karena kita manusia merdeka…”
Karena ideologi ini, Syiah kerap dituding mengganggu stabilitas sebuah negara. Mereka khawatir, apa yang terjadi di Iran—ketika Imam Khomeini menumbangkan rezim Pahlevi kejam yang sebenarnya juga bermazhab Syiah, terjadi di negara lain. Padahal kondisi setiap negara sangat berbeda.
Imam Khomeini mengatakan, Islam punya nilai yang terangkum dalam dua kalimat di akhir surah Al-Baqarah ayat 279: lā taẓlimūna walā tuẓlamūn. Janganlah kalian menzalimi, janganlah kalian dizalimi.
Berdiam diri terhadap pemimpin yang zalim pada dasarnya bertentangan dengan akal sehat. Itu sebabnya kita mendapati dalam sejarah, selalu terjadi perlawanan terhadap pemimpin yang dianggap tiran, bahkan mereka rela mengorbankan nyawanya.

Tinggalkan komentar