Seorang wanita yang sedang hamil tua berjalan di sekitar Ka’bah. Tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti akan melahirkan. Lalu masuklah dia ke dalam Ka’bah dan melahirkan seorang putra di dalamnya.
Siapa yang dilahirkan di dalam Ka’bah? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak perlu heran jika ahlusunah dan Syiah memiliki silang pendapat.
Sebagian ahlusunah meyakini bahwa sosok yang lahir dalam Ka’bah adalah Ḥakīm bin Ḥizām. Dia adalah keponakan Sayidah Khadījah dan sepupu Zubair bin Awwām. Ḥakīm lahir sekitar 13 tahun sebelum Tahun Gajah.
Sedangkan muslim Syiah dan sebagian ahlusunah lain bersepakat bahwa satu-satunya yang lahir dalam Ka’bah adalah ‘Alī bin Abī Thālib. Sayidina ‘Alī lahir 13 tahun setelah Tahun Gajah.
Kedua mazhab saling melemahkan riwayat satu sama lain. Namun keduanya sepakat bahwa ‘Alī bin Abī Thālib adalah pria pertama yang menerima dakwah Nabi. Dialah muslim pertama.
Rasulullah ﷺ sendiri yang mendidik dan membesarkan ‘Alī, seolah membalas jasa Abū Thalib yang dulu merawat nabi. Keduanya ibarat satu jiwa ketika beliau ﷺ berkata kepada ‘Alī:
Engkau (bagian) dariku dan aku (bagian) darimu.
📚 Hadis Ahlusunah: Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī
📚 Hadis Syiah: Biḥār Al-Anwār
Tidak heran kemudian, jika dari beberapa sahabat yang hendak meminang Fāṭhimah, hanya ‘Alī yang diterima. Seolah hanya ‘Alī yang mampu memperlakukan Fāṭhimah dengan cara terbaik. Sebab, Rasulullah ﷺ sendiri yang memberikan teladan.
Sebagaimana Nabi tidak menikah lagi selama Khadījah masih hidup, ‘Alī juga memperlakukan Fāṭhimah demikian. Bersama Fāṭhimah, ‘Alī dikaruniai dua putra dan dua putri. Kata Nabi, kedua putra ‘Alī, yaitu Ḥasan dan Ḥusain, adalah pemimpin para pemuda di surga.
Sayidina ‘Alī menganggap anak sebagai anugerah yang tumbuh kembangnya akan sempurna berkat perhatian dan didikan orang tua.
“Demi Allah,” kata Sayidina ‘Alī, “aku tidak pernah meminta kepada Tuhan anak yang berparas rupawan tidak pula kedudukan yang tinggi. Namun aku meminta anak yang taat dan takut (kepada Tuhan), sehingga ketika aku melihatnya taat kepada Tuhan, hal itu akan menyenangkan hatiku.”
Prinsip itu selalu dipegang oleh ‘Alī. Sehingga dia tidak membeda-bedakan anak yang lahir dari Fāṭhimah ataupun dari istri yang lain setelahnya.
Perhatiannya tidak hanya dicurahkan kepada anak kandung, namun juga para yatim. Sayidina ‘Alī terbiasa duduk di tanah untuk bermain dan mengusap kepala anak yatim sambil mendoakan mereka. Dia adalah ayah yang mengantarkan makan untuk para yatim di tengah malam.
“Janganlah kalian mengubah perkataan dan menelantarkan para yatim,” kata ‘Alī. Sebab Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang memenuhi kebutuhan para yatim, Allah akan mewajibkan surga baginya, sebagaimana Allah mewajibkan neraka bagi mereka yang memakan harta yatim.”
Ayah memiliki peran penting dalam keluarga. Setiap negara dengan beragam latar belakang budaya memilih satu hari tertentu untuk merayakan Hari Ayah.
Banyak negara mengikuti Amerika Serikat yang menjadikan hari Minggu ketiga di bulan Juni sebagai Hari Ayah. Beberapa negara berlatar Kekristenan Barat menjadikan Hari Raya Santo Yusuf sebagai Hari Ayah. Indonesia memilih 12 November.
Sebelum revolusi Islam, Iran menjadikan ulang tahun Reza Shah Pahlavi sebagai Hari Ayah. Pasca revolusi, Iran menetapkan 13 Rajab yang merupakan hari lahir Imam ‘Alī bin Abī Thālib sebagai Hari Ayah.
Sebab dalam tradisi muslim Syiah, terdapat riwayat dari Rasulullah ﷺ yang bersabda, “Aku dan ‘Alī adalah ayah dari umat ini.”

Tinggalkan komentar