“Ketika Allah menciptakan manusia, Dia memberikan pula sesuatu yang bernama emosi,” kata Balqees Touman, psikolog di Rumah Sakit Nasser, Gaza. Balqees mengatakan itu kepada Joury, seorang anak Palestina yang terluka; tak hanya fisik namun juga psikisnya.
Balqees menjelaskan bahwa ada beragam jenis emosi, seperti bahagia, sedih, termasuk rasa takut seperti yang Joury rasakan. “Semua orang merasakannya karena Tuhan telah menganugerahi. Kamu, ibumu, aku, kita semua merasakan takut,” kata Balqees meyakinkan.
“Rasa takut punya manfaat,” lanjutnya, “…misalnya aku takut singa. Jika aku melihat singa, aku merasa takut dan berlari darinya sehingga bisa selamat. Tapi kalau aku berdiri di hadapan singa dan berkata tidak takut, apa yang akan terjadi?”
“Singa akan memakanmu,” kata Joury. “Benar, sehingga rasa takut akan melindungimu,” kata Balqees. “Jadi ketika aku mendengar suara bom, aku merasa takut dan berlari. Karena itu rasa takut akan melindungi dan menghindariku dari luka.”
Manfaat rasa takut
Cara Balqees menjelaskan rasa takut sangat indah, yaitu dengan memahami rasa takut kita bisa lebih mudah dalam menghadapinya. Dengan rasa takut, kita paham apa hal yang penting dalam hidup ini. Dalam ukuran yang tepat, nikmat bisa merasakan ketakutan memiliki manfaat.
Selain menjadikan kita aman, rasa takut juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk sementara waktu. Penelitian di Universitas Coventry menunjukkan respons ketakutan fisiologis dapat meningkatkan teraktivasinya sel darah putih dalam melawan penyakit.
Selain itu, rasa takut juga memunculkan daya dalam diri kita. Selain adrenalin, zat kimia lain juga dilepaskan ketika muncul rasa takut: dopamin, endorfin, oksitoksin, dan serotonin. Singkatnya, rasa takut menciptakan energi.
Karunia dalam lupa
Tak hanya takut, lupa juga merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan. Scott A. Small dari Universitas Columbia menulis dalam buku Forgetting: The Benefits of Not Remembering, “Bagi kebanyakan orang, hilangnya ingatan penting untuk fungsi otak yang sehat—sama pentingnya dengan kemampuan mengingat.”
Sejalan dengan sains, dalam kitab Tauḥīd Al-Mufaḍḍal, Ja’far bin Muḥammad Al-Ṣādiq pernah berkata, “Nikmat lupa pada manusia lebih besar nilainya daripada nikmat ingat. Andai tidak ada lupa, niscaya tak ada orang yang dapat lepas dari musibah. Dukanya tak pernah berakhir; dendamnya tak pernah padam.”
Kita bisa bayangkan, jika tidak ada lupa, kita tidak akan bisa menikmati karunia dunia karena pada saat yang sama kita selalu ingat petaka dan musibah yang kita alami. “Tidakkah, engkau perhatikan, bagaimana (Allah) menjadikan bagi manusia daya ingat dan lupa, sementara keduanya berlawanan, namun masing-masing punya manfaat?”
Istimewa rasa malu
Bentuk emosi lain yang kadang dianggap kekurangan adalah malu. Ja’far Al-Ṣādiq mengatakan, “Perhatikan apa yang dikhususkan bagi manusia dan tidak diberikan kepada seluruh binatang. Sesuatu yang tinggi nilainya dan besar manfaatnya, yaitu rasa malu.”
Banyak orang menganggap kalau rasa malu itu berkaitan erat dengan usaha untuk menghindari situasi sosial. Namun penelitian yang dilakukan di National Institutes of Health menunjukkan jika anak-anak yang malu memiliki aktivitas dan reward system di otak yang lebih tinggi. Mereka terlihat diam, tapi banyak hal yang terjadi di kepala mereka.
Orang yang pemalu cenderung memiliki kepekaan yang tinggi, pendengar yang lebih baik, memiliki empati yang lebih besar, dan lebih baik dalam melakukan pengamatan.
Itulah mengapa Imam Ja’far berkata, kalau saja tidak ada rasa malu, orang tidak akan menyambung silaturahmi, tidak menunaikan amanat dan janji, tidak ada yang terdorong untuk berbuat baik, dan tidak ada yang mencegah untuk menghindari perbuatan buruk.
Saya pikir, kita perlu merenungi lagi rahasia dalam diri kita sebagai manusia. Hal-hal yang sering kita anggap sebagai kekurangan dan kelemahan, ternyata memiliki hikmah yang sesuai dengan kapasitas kita dalam menjalaninya.

Tinggalkan komentar