Sungguh Aku Telah Menamaimu Mariam

Perayaan Taklif

📅

📝

Suatu hari Senin tengah malam di bulan Oktober 2015, aku mengutip ucapan istri ‘Imrān sewaktu dia melahirkan anaknya. Ucapan yang ada di dalam surah Āli ‘Imrān itu aku gunakan sebagai pengantar informasi kelahiranmu yang aku kirimkan kepada sanak saudara.

“Sungguh aku telah menamai dia Mariam dan aku mohon perlindungan untuknya serta keturunannya kepada pemeliharaan Engkau dari setan yang terkutuk,” begitu ucap Ḥannah (Saint Anne). Aku akan ceritakan alasanku memilih nama itu.

Mariam dengan perlawanan

Seperti yang sudah pernah aku katakan kepadamu, kami memang menamaimu dari nama Mariam binti ‘Imrān, ibu Nabi ‘Īsā a.s. (Yesus). Nama perempuan yang dihormati dalam agama Islam dan Kristen. Kalangan Yahudi juga menghormati nama itu sebagai nama saudari Mūsā a.s. namun dengan pelafalan Miriam.

Kami memilih nama itu karena Sayidah Mariam binti ‘Imrān merupakan figur yang melampaui zamannya.

Coba kita bayangkan: namanya menjadi salah satu nama surah, disebut sebanyak 34 kali, dan kisah hidupnya relatif lengkap dalam Al-Quran. Semua itu sudah menunjukkan keluhuran jiwanya bahkan dibandingkan dengan laki-laki sezamannya.

Pada masa itu, laki-laki selalu mendapat pengistimewaan (sayangnya, hal itu masih terjadi hingga saat ini). Ḥannah juga sebenarnya berharap anaknya laki-laki, bukan perempuan. Sebab hanya laki-laki yang boleh bertugas di Baitulmaqdis.

Tapi Sayidah Mariam lahir dan mendobrak tradisi tersebut. Dia menunjukkan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama di hadapan Allah. Jika di hadapan Allah saja perempuan memiliki kedudukan yang setara, perempuan bisa berhadapan sejajar dengan laki-laki di mana saja.

Mariam dengan keimanan

Sayidah Mariam berasal dari keluarga baik-baik. Dia pemalu dan sejak kecil sudah mengabdi di rumah Allah. Tapi dia tetap harus menghadapi babak kehidupan yang berat.

Kita bisa bayangkan tuduhan yang dihadapi oleh gadis yang melahirkan bayi tanpa pernikahan. Masyarakat melemparkan cemoohan dan tuduhan keji sebagai seorang pezina.

Tidak akan ada yang sanggup menghadapi situasi semacam itu kecuali wanita dengan keimanan yang kokoh. Wanita yang teguh dengan janji Allah tidak akan lari menghindari omongan orang-orang yang berniat menjatuhkan.


Aku harap, tulisan ini hanyalah pengantar bagimu untuk mempelajari lebih banyak kisah Sayidah Mariam. Karena memahami kisah masa lalu merupakan salah satu cara untuk menghadapi masa kini dan mempersiapkan masa nanti.

Apalagi, perjuangan Sayidah Mariam masih relevan hingga saat ini. Bahkan mungkin tantangannya jauh lebih berat. Sedikit informasi tentang apa yang dihadapi perempuan kini, mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk kamu persiapkan sejak dini.

Perempuan masih menghadapi ketidakadilan di bidang pendidikan. Perempuan lebih rentan menghadapi kekerasan fisik dan psikis. Perempuan memiliki penghasilan yang relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan menghadapi diskriminasi di bidang sosial dan politik. Semua itu, sayangnya, masih ada yang disebabkan faktor gender semata. 

Aku tidak bermaksud membuatmu takut. Aku juga tidak ingin membuatmu merasa terbebani karena tulisan ini. Aku mohon maaf jika itu yang muncul dalam pikiranmu.

Namun kamu tidak perlu khawatir. Aku dan ibumu sedang dan terus mengupayakan yang terbaik untuk membantumu dan adikmu (tapi kita harus bekerja sama).

Aku jadi teringat ucapan seorang revolusionis Iran, Dr. Ali Shariati. Dia pernah bilang, “Ayahku memilihkan namaku, dan nama belakangku dipilihkan oleh leluhurku. Itu sudah cukup. Aku sendiri yang memilih jalanku.”

Ya. Aku dan ibumu hanya mempersiapkan, membimbing, dan mengantarkanmu. Karena pada akhirnya, kamu sendiri yang akan memilih jalan hidupmu.


Discover more from islah

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.