Ada beberapa alasan mendasar ketika seseorang memutuskan untuk tidak memiliki asuransi. Pertama, keyakinan jika asuransi tidak sesuai dengan prinsip hukum agama atau syariah. Kedua, keyakinan jika perkara sakit dan mati sudah ada yang mengatur.
Filsuf muslim kontemporer Iran, Morteza Motahhari, menjelaskan perspektifnya mengenai hal mendasar tentang asuransi.
Asuransi sebagai transaksi baru
Apakah asuransi merupakan transaksi (akad) yang sudah ada aturannya dalam fikih atau sebuah transaksi baru? Jawaban atas pertanyaan ini penting agar terdapat kejelasan dari sisi syariah.
Seandainya asuransi menggunakan salah satu akad dalam syariah yang sudah dikenal, seluruh hukum yang berlaku bagi akad tersebut seharusnya berlaku pula dalam asuransi.
Dalam fikih, ada beberapa jenis akad yang dikenal. Sebagai contoh: jual-beli (al-bay’), persewaan (al-ijārah), perwakilan (al-wikālah), penitipan (al-wadī’ah), hadiah (al-ji’ālah), pengalihan utang (hiwālah), penanggungan (al-kafālah), dan jaminan (aḍ-ḍamān).
Dari beberapa jenis akad tersebut, esensi asuransi sebenarnya paling dekat dengan aḍ-ḍamān. Namun demikian, aḍ-ḍamān biasanya berkaitan dengan jaminan atas utang, bukan barang.
Sebagai contoh: Tuan A (debitur) berutang kepada Tuan B (kreditur). Lalu Tuan C datang dan mengatakan kepada Tuan B, “Saya akan menjamin utang Tuan A dan memikul tanggungannya.”
Sunnī dan Syiah memiliki perbedaan pendapat fikih terkait dengan aḍ-ḍamān tersebut. Ahlusunah menganggap aḍ-ḍamān sebagai penggabungan tanggungan dengan tanggungan yang lain. Dalam kasus Tuan B tadi, dia dapat menagih kepada Tuan A atau Tuan C. Sedangkan menurut Syiah, aḍ-ḍamān adalah peralihan tanggungan, sehingga Tuan B hanya dapat menagih kepada Tuan C.
Islam berjalan dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Menurut Ust. Motahhari, tidak harus setiap aktivitas muamalah dipaksakan untuk dikategorikan ke dalam salah satu akad di dalam fikih, termasuk asuransi.
Ayat Al-Qur’an dan hadis mengatur kewajiban muslim untuk memenuhi akad atau kontrak yang telah disepakati.
والْمسلِمونَ علَى شروطِهِم إِلاَّ شرطًا حرم حلاَلاً أَو أَحلَّ حراما
Kaum muslim terikat dengan syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
📚 Hadis Ahlusunah: Ṣaḥih Bukhārī; Ṣaḥih At-Tirmiżī
📚 Hadis Syiah: Wasā’il Al-Syī’ah; Mīzān Al-Ḥikmah
Dalam muamalah, terbuka kesempatan adanya transaksi baru sepanjang selaras dengan keumuman dalil fikih dan tidak melanggar prinsip yang diharamkan.
Asuransi membeli rasa aman
Salah satu prinsip yang diharamkan dalam aktivitas muamalah adalah ketidakjelasan yang mengakibatkan adanya penipuan (gharar).
Seandainya kita beranggapan bahwa esensi asuransi berarti pertukaran benda berupa harta, maka tidak ada alasan untuk membenarkannya dalam syariah. Sebab, nasabah tidak selalu tahu berapa uang yang akan dibayarkan perusahaan asuransi, sementara nasabah bisa jadi tahu berapa jumlah harta premi/kontribusi yang telah dibayarkan.
Para ahli fikih mengatakan bahwa yang diperoleh nasabah dari perusahaan asuransi hakikatnya bukanlah harta atau uang pertanggungan.
Nasabah memperoleh jaminan dari perusahaan asuransi atas timbulnya risiko. Jika tidak ada jaminan tersebut, nasabah mengalami kecemasan dan kegelisahan.
Kalau terjadi kebakaran, seseorang akan menderita kerugian. Kalau meninggal, dia mengkhawatirkan kehidupan ahli warisnya. Sehingga seseorang mencari ketenangan untuk menghilangkan kecemasan tersebut.
Oleh karena itu, dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’mīn atau pemberian rasa aman dari perusahaan asuransi kepada nasabah.
Bagi Ust. Motahhari, asuransi memiliki tujuan yang logis. Seseorang terkadang merasa cemas atau khawatir dengan harta, barang, jiwa, masa depan, atau kehilangan pekerjaan karena sakit. Karena itu seseorang berusaha memiliki asuransi walaupun dia harus mengorbankan hartanya untuk menghilangkan kecemasan itu.
Sebagai hal yang logis, prinsip asuransi sebenarnya telah kita terapkan dalam keseharian. Pemasangan gembok, alarm, hingga CCTV merupakan upaya untuk menekan risiko dan menciptakan rasa aman, bukan untuk memancing terjadinya tindak kejahatan dan kerugian.

Tinggalkan komentar