Aku menerima reaksi beragam ketika banyak orang mengetahui aku, Hafsa, seorang wanita India kelahiran Inggris dari sebuah keluarga suni, menikah dengan Ali, pria Pakistan kelahiran Inggris dari salah satu keluarga Syiah paling terkenal di London. Ada pujian atas keberanianku memilih suami. Mereka percaya bahwa pernikahan kami dibutuhkan sebagai bukti persatuan dua mazhab. Namun ada juga orang-orang yang tidak perlu mengungkapkan pikiran mereka tentang hal tersebut—tapi penghinaan di mata mereka mengatakan semuanya.
Ada banyak perasaan dari diriku ingin mengatakan bahwa alasanku menikahi Ali dikarenakan nilai kebajikan yang lebih terkandung dalam pernikahan kami, sebuah visi yang lebih luas tentang menjembatani perbedaan, merobohkan halangan yang ada… tapi sebenarnya, aku menikahi Ali lebih karena kepribadiannya, kemauannya yang kuat, dan selera humornya. Aku ingin terus menjalani hidup bersamanya sebagai pasangan dan teman. Aku selalu merasa bahwa kami lebih memiliki persamaan daripada perbedaan. Tujuan hidup kami sama. Kami percaya pada Tuhan dan nabi (saw.) yang sama. Memang, cara salat kami ada yang berbeda. Lalu kenapa? Toh kami berdua masih tetap salat, kan?
Bagi sebagian orang memang mengherankan karena orang tuaku ternyata melihat dengan sudut pandang yang sama sepertiku. Aku tidak terkejut. Mereka selalu berpikiran terbuka dan ayahku selalu mengatakan bahwa tidak terlalu banyak perbedaan antara suni dan Syiah. Ibuku juga memiliki sepupu yang menikahi seorang Syiah, sehingga yang aku lakukan sebenarnya tidak terlalu revolusioner.
Namun orang tua Ali memiliki cerita yang sangat berbeda. Sebagai penganut Syiah taat dengan peran aktif dan penting di komunitas Syiah London Utara, mereka mengkhawatirkan kemungkinan adanya pertentangan pada nilai-nilai mereka ketika membawa seorang menantu suni ke lingkungan keluarga. Sampai-sampai Ali mengatakan pada mereka bahwa aku sedang memikirkan menjadi pengikut Syiah hanya untuk membuat mereka percaya hingga pada satu titik, aku benar-benar berpikir untuk melakukan itu agar mereka menerima kami. Tapi semakin lama mereka setuju, semakin aku memutuskan untuk tidak ingin berpura-pura.
Banyak orang mengatakan kalau perbedaan tersebut akan membuat pernikahanku menjadi menantang, padahal sebenarnya kehidupan pernikahan itu sendiri ratusan kali lebih mengerikan. Awalnya memang demikian. Menikahi seseorang dari kultur yang berbeda memang sulit untuk dikendalikan, ditambah lagi perbedaan keyakinan dan tinggal bersama besan akan memberikan tekanan dengan berbagai tingkatan.
Meskipun Ali dan orang tuanya tahu bahwa aku bukan seorang Syiah, keluarga besarnya (yang tidak menginginkan pernikahan dilanjutkan saat pertama kali bertemu) tidak mengetahuinya. Itu sebabnya aku terlalu takut untuk salat di hadapan mereka karena bisa membuka fakta bahwa aku bukan bagian dari mereka. Pernah suatu kali sepupunya bertanya apakah aku seorang Syiah atau suni dan aku menghindari dengan jawaban acuh “Aku seorang muslim”. Menghindar dengan cara itu berhasil pada beberapa dari mereka, sementara yang lain memaksaku dengan jawaban spesifik. Aku tidak suka mengakui bahwa aku suni.
Bagaimana pengalaman Hafsa di bulan Muharam? Selanjutnya di Halaman 2.

Tinggalkan komentar