Beberapa hari sebelum Natal, aku mulai tidak semangat dengan pekerjaan rumah. Ayatullah Khomeini terus menguasai pikiranku. Aku mengatakan kepada ayah kalau ingin melihat seseorang, yang memberikan perasaan yang sama seperti melihat Yesus, ia harus datang dan mendengar Ayatullah Khomeini.
Berbeda dengan harapanku, ayah memutuskan untuk mengadu kepada polisi. Aku kehilangan kesabaran dan bertanya mengapa ia menolak untuk melihat Ayatullah Khomeini. “Dia sama seperti penceramah agama lainnya. Dia pasti hanya akan memberikan nasihat,” kata ayah.
“Ayah selalu menasihati aku untuk tidak berburuk sangka. Aku pikir ayah orang yang rasional… dia akan berpidato pada hari ini. Ayo kita pergi mendengarkannya, setidaknya demi putramu. Ayah bisa pergi kalau tidak puas,” kataku pada ayah. “Kapan kita harus pergi?” tanya ayah. “Kurang dari setengah jam lagi. Dia terbiasa dengan tepat waktu,” kataku dengan empati.
Ketepatan waktu Ayatullah Khomeini sangat mengesankan. Dia datang tepat waktu dan duduk di tempat biasa di mana dia bertemu wartawan. Semua berdiri sebagai tanda penghormatan kepada ayatullah agung ini. Dia duduk di bawah pohon rindang dan mulai berbicara tenang dengan suara lembut. Penerjemah bersiap menyampaikan pidatonya ke dalam bahasa Perancis.
Beberapa menit kemudian, aku melihat wajah ayah. Dia mendengar dengan seksama. Ada sinar dari air matanya dan tampak jelas ia sangat terkesan oleh Ayatullah Khomeini. Aku bernapas lega. Di hari lain, kami juga mendengarkan Ayatullah Khomeini dan ayah tidak lagi marah.
Di malam kelahiran Yesus, kami sedang duduk untuk merayakannya. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ayah menuju pintu dan aku mengikutinya. Seseorang dengan buket kembang dan sekotak permen, berkata, “Ini hadiah dari Ayatullah Khomeini. Beliau mengucapkan selamat kepada kalian di hari kelahiran Yesus dan menyampaikan permohonan maaf dengan hormat jika mengganggu perayaan Natal dan kehadirannya mengganggu desa.”
Ayah menerima bunga dan kotak permen itu. “Sampaikan terima kasih kepadanya.” Ayah berdiri kagum pada semua cinta dan kasih sayang yang diberikan. Dia masuk ke ruangannya tanpa berkata apa-apa lagi. Beberapa menit kemudian aku mendengarnya menangis.
Ibu bertanya apa yang terjadi. Aku bergegas menujunya untuk menjelaskan. “Tahun ini Al-Masih memberi kita hadiah: bunga dan permen.”
Kisah di atas dituturkan oleh seorang dokter asal Prancis, Dr. Louie, yang masih remaja pada akhir tahun 1978. Masa itu Imam Khomeini menjadikan sebuah desa kecil di Paris, Neauphle lè Château, sebagai tempat tinggal sementara sebelum kepulangannya yang bersejarah ke Tehran dari pengasingan.
Kisah Dr. Louie di atas menjadi pelajaran praktis dari seorang ulama rujukan agama (marjak). Pelajaran bagi kita semua tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku selama libur Natal ketika lebih dari separuh penduduk dunia merayakan kelahiran Yesus.
Apakah kita hanya mengatakan “hari Natal tidak ada hubungannya dengan saya” atau “saya tidak tertarik dengannya”? Atau kita menggunakan kesempatan ini untuk tablig (dakwah) dan menggambarkan kepada dunia betapa indahnya Allah Swt. ketika menjelaskan sucinya kelahiran Nabi Isa a.s. dan kedudukan spiritual ibunya, Mariam a.s., dalam Alquran?
Perilaku Imam Khomeini tersebut tidak hanya menginspirasi Dr. Louie tapi juga banyak lainnya di Perancis untuk mencari tahu dan meneliti Islam khususnya Syiah.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010

Tinggalkan komentar