Perdebatan mengenai apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak kita lewatkan dulu. Karena itu bukan inti tulisan ini. Tapi hari ini (30/11) bank ribawi dengan aset terbesar (Bank Mandiri) telah resmi beroperasi di sebuah universitas Islam, dengan malu saya sebut UIN Jakarta. Entah malu atau aib, saya berada di universitas itu, di Fakultas Syariah, lebih khusus lagi di jurusan Perbankan Syariah.
Pendidikan dan hasil sumber daya manusia yang dihasilkan perguruan tinggi memang belum bisa diserap sepenuhnya oleh pertumbuhan industri keuangan syariah yang terus meningkat. Hal tersebut tidak memacu universitas untuk memperbaiki kualitas, tapi justru kebijakan yang dilakukan adalah memperburuk image yang sedang dibangun. Entah apa yang ada di otak para pembuat kebijakan kampus ini…
Tanda tangan kontrak sebenarnya sudah dilakukan dari Juni 2008. Saat itu, rektor Komaruddin Hidayat, hanya beralasan sembari memuji, “Kehadiran Bank Mandiri sebagai bank terbesar dan terpercaya di Indonesia, sangat membantu kami dengan memberikan fasilitas yang terbaik.” Setelah sebelumnya Bank BNI 46, kali ini Bank Mandiri yang akan bermain dalam pelayanan administrasi bagi mahasiswa dan karyawan.
Nampaknya Komaruddin Hidayat harus belajar dari keberanian rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr Bambang Setiadji, yang mengancam BPD Jawa Tengah sebagai mitra UMS dalam pembayaran SPP untuk merubah sistem perbankannya dari konvensional ke syariah. Langsung saja BPD Jateng membuka Unit Usaha Syariah (UUS). “Kami bukan sekedar mengkaji ekonomi dan perbankan syariah saja, tapi kami harus mengimplementasikannya,” ungkap rektor UMS sekaligus Ketua MES Jawa Tengah.
Ketidakberanian UIN dan rektornya ini semakin jelas ketika wartawan PKESinteraktif mencoba meminta kejelasan. Para birokrat UIN bungkam dan tak mau memberikan komentar, sementara Rektor UIN Jakarta sulit ditemui di kantornya sedangkan saat dihubungi melalui via telepon selular tak diangkat. Itu dari satu sisi.
Dari sisi lain, mungkin perbankan syariah juga tidak menaruh minat dan akhirnya kecolongan. Banyaknya bank syariah di sekitar UIN, seperti Muamalat, BNI Syariah, BSM, tidaklah cukup. Dalam arti bank syariah harus melakukan ekspansi yang lebih luas. Dari sisi kuantitas (24 ribu mahasiswa dan 1.900 dosen/karyawan) merupakan market yang potensial, sedangkan dari sisi kualitas peran perbankan syariah bisa beralih pada peningkatan SDM, misalnya kerja sama di pengelolaan bank mini.
Terakhir dari sisi civitas akademika. Gaung kontrak UIN dengan Bank Mandiri yang konon puluhan tahun memang sudah terdengar dari tahun 2008. Harus diakui juga bahwa mahasiswa telah kecolongan. Mahasiswa memang telah berusaha melakukan protes ke jurusan dan fakultas, tapi nihil. Seperti tidak ada kekuatan melawan rektorat. Seolah-olah jurusan perbankan syariah, kelompok studi ekonomi syariah, bahkan himpunan sarjana syariah (HISSI) tenggelam ditelan para birokrat.
Hari ini saya dengar ada rencana dari mahasiswa untuk melakukan demo mengenai hal ini. Berbeda ketika saya membahas demo Palestina, kali ini komentar saya agak skeptis. Kontrak sudah ditandatangani lebih dari satu tahun yang lalu, bahkan hari ini bangunan biru itu sudah beroperasi. Lalu sejauh mana efektifitas teriakan kita? Di tengah rasa skeptis ini, saya tetap berharap ada perubahan di otak dan hati para birokrat kampus!
Selamat (berduka)!
Catatan: Terima kasih untuk Hasanudin atas pinjaman hapenya buat foto ;) Tulisan ini juga bisa dibaca di blog Kompasiana.
Tinggalkan komentar