Alhamdulillah, perjuangan untuk mengerjakan tugas yang sangat menyita waktu tidur telah selesai. Ujian akhir pun telah terlewati, meski masih ada rintangan lain di depan: Kuliah Kerja Nyata! Tapi sebelum pergi meninggalkan blog lebih lama lagi, saya masih ingin bercerita tentang sebagian “agamawan” yang tidak “negarawan” (apa maksud?!)
Waktu lagi sabar-sabarnya nunggu lampu merah di daerah Kalibata, tiba-tiba segerombolan pengendara motor—dengan baju koko dan sarung—menerobos lampu dan walhasil melanggar aturan lalu lintas. Terlebih, mereka tidak menggunakan helm untuk menjaga keselamatan; tapi memilih menggunakan peci putih.
Mungkin yang ada di benak mereka, kalau terjadi kecelakaan dan meninggal, mereka jadi syahid bisa langsung masuk surga. Tapi yang jelas polisi kurang memiliki keberanian untuk menilang mereka karena nanti takut dikira anti-Islam. Ya, para pengendara itu merupakan fans berat dari para habaib yang “berlomba dalam kebaikan” (untuk mengumpulkan massa).
Sejak itu saya heran, bukankah orang yang taat agama seharusnya juga taat dengan aturan negara? Bukankah banyak yang menafsirkan ulil amri dalam ayat “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” itu sebagai pemerintah?
Ini bukan masalah Indonesia bukan negara Islam, karena seorang Muslim yang tinggal di negara non-Muslim pun punya aturan dan harus mengikuti aturan negara tersebut (tentu jika tidak bertentangan dengan agama). Ini tentang seseorang yang mengaku beragama tapi tidak taat terhadap aturan negara. KTP adalah bukti bahwa kita (orang beragama) terikat dengan aturan negara.
Teman saya, lulusan pesantren Sidogiri dan pengikut Imam Syafii yang kuat, mengatakan bahwa pernikahan sirri itu tidak sah. Sambil mengutip perkataan ulama (saya lupa), dia mengatakan bahwa meskipun syarat sah nikah terpenuhi dalam nikah sirri, tapi tetap saja tidak sah karena melanggar aturan negara.
Saya melihat wanita dengan jilbab sempurna nan lebar, tapi membuang sampah sembarangan. Saya melihat lelaki dengan peci, jenggot dan celana sebetis tapi merokok di kendaraan umum. Padahal seharusnya yang beragama adalah yang bernegara. Semoga saya bisa menjadi orang yang beragama dengan baik dan bernegara dengan baik. Wallâhua’lam.
Tinggalkan komentar