Setiap kali ada tukang minta-minta, saya selalu teringat cerita dari Imam Ali Zainal Abidin di bawah ini. Cerita yang membuat saya sadar bahwa saya bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa. Membuat saya malu untuk mengaku-ngaku sebagai pengikut (syiah) ahlulbait.
Contoh dari Imam As-Sajjad yang tidak pernah menolak setiap orang yang meminta kepadanya. Pasti akhlak ini bersumber dari neneknya, Sayidah Fatimah az-Zahra, yang Nabi berkata bahwa setiap orang yang datang ke rumah Fatimah tidak pernah kecewa. Mari kita baca cerita ini.
Abu Hamzah Ats-Tsumali suatu ketika salat subuh di Madinah pada hari Jumat bersama Imam Ali Zainal Abidin. Ketika selesai, Imam langsung bangkit dan menuju ke rumahnya. Abu Hamzah mengikutinya hingga sampai rumah.
Sampai di rumah, Imam memanggil budak perempuannya yang bernama Sakinah sambil berkata, “Jangan sampai ada seorang peminta yang melewati pintu rumahku melainkan engkau memberinya makan, karena hari ini adalah hari Jumat.”
Abu Hamzah lalu mengatakan hal yang mungkin sama dengan yang ada dipikiran kita. “Bukankah tidak semua yang meminta itu layak untuk diberi?” Jujur saja, pikiran seperti ini selalu ada dipikiran saya dan akhirnya menghalangi saya untuk memberi.
Pernah ada tukang minta-minta sambil ngerokok. Langsung yang ada dipikiran saya “paling duitnya buat ngerokok lagi”, atau pengamen bertato yang paling duitnya buat hal negatif. Ada lagi “pemuda gagah” yang bermodalkan puisi untuk minta-minta, tapi yang ada dipikiran saya “kalau saya kasih, berarti saya membantu kemalasan.”
Hal seperti itu masih ada dipikiran saya. Zaman sekarang, tentu kita tahu ada saja cara yang digunakan orang untuk pura-pura. Terkadang membuat kita jengkel karena baru saja duduk melepas pegal diangkot, dipaha kita sudah ditaruh amplop. Bahkan ke warnet dan kampus-kampus.
Dikampus misalnya, ada orang yang bagi-bagi amplop (tentu saja kosong) untuk diisi. Waktu pertama kali saya masih kasih karena dia bilang buat modal dagang. Tapi sampai sekarang sudah berbulan-bulan masih edarin amplop! Saya hanya khawatir orang itu “ketagihan” meminta, padahal meminta-minta perbuatan hina.
Nah, jawaban Imam Sajjad kepada Abu Hamzahlah yang membuat saya mengumpulkan uang Rp 500,- di tas. Imam menjawab, “Aku khawatir di antara para peminta tersebut ada yang memang layak untuk diberi, namun aku tidak memberinya dan menolaknya. Maka ditimpakanlah kepada kami, ahlulbait, sesuatu yang sebelumnya ditimpakan kepada Nabi Yakub dan keluarganya.”
Dulu, setiap hari Jumat Nabi Yakub selalu menyembelih kambing dan bersedekah dengannya. Ia dan keluarganya juga makan daging itu. Suatu kali tukang minta-minta yang lagi puasa dan patut untuk diberi datang ke rumah Nabi Yakub.
Pada saat itu keluarga Nabi Yakub mendengar seruan pengemis tapi mereka tidak mengetahui hak pengemis yang mestinya dikasih. Mereka tidak percaya dengan ucapan itu. pengemis itu kecewa dan melewati malam dengan lapar dan mengadu kepada Allah. Sementara Nabi Yakub dan keluarga melewati malam dengan kenyang.
Menjelang subuh, Allah mewahyukan kepada Nabi Yakub, “Wahai Yaqub, engkau telah merendahkan dan menghina hamba-Ku… Wahai Yakub, sesungguhnya nabi-Ku yang paling Aku cinta dan paling mulia adalah yang mengasihi hamba-hambaku yang miskin serta berusaha menjalin kedekatan dengan mereka… Tidakkah engkau kasihan kepada hamba-Ku…? Demi keagungan-Ku sungguh akan Aku timpakan kepadamu bencana dari sisi-Ku dan Aku jadikan engkau dan keluargamu menanggung musibah.”
Kemudian Abu Hamzah bertanya, “Semoga aku menjadi tebusan Anda, kapankah Yusuf bermimpi?” Imam menjawab, “Demi Allah, pada malam itulah Yusuf bermimpi, di malam ketika Yaqub dan keluarganya melewati malamnya dengan perut kenyang namun pengemis itu kelaparan.”
Tentu teman-teman sudah tahu bahwa mimpi Nabi Yusuf itulah awal kisahnya dan awal musibah bagi keluarga besar Nabi Yaqub, yang disebabkan menolak permintaan seseorang. “Ya Allah, ampunilah aku… Sudah berapa banyak orang yang aku tolak permintaanya…”
Hammam bin Ghalib, seorang penyair besar yang lebih dikenal dengan nama Al-Farazdaq, pernah memberikan syair panjang dan indah kepada keluarga suci Nabi (ahlulbait), khususnya kepada Imam Ali Zainal Abidin.
كِلْتا يَدَيْهِ غِيَاثٌ عَمَّ نَفعُهُمَا
يُسْتَوْكَفانِ، وَلا يَعرُوهُما عَدَمُما قال: لا قطُّ، إلاّ في تَشَهُّدِهِ
لَوْلا التّشَهّدُ كانَتْ لاءَهُ نَعَمُUluran tangannya laksana hujan merata
Menebar manfaat kemana-mana
Tangannya tak pernah kosong hampa
Walaupun dermawan tiada taraTidak pernah ia berucap “Tidak”,
kecuali dalam syahadatnya.
Kalau bukan karena syahadatnya,
“Tidak”nya berubah menjadi “Ya”
Tinggalkan komentar